Info!! Alasan Marsekal Hadi Pilih Drone Buatan China
Ketimbang Israel Drone CH-4B [SCMP]
Di tengah anggaran yang terbatas, pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) Tentara Nasional Indonesia tetap dituntut melakukan kiprah dan kewajibannya secara mumpuni. Saat menjabat Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan, Marsekal Hadi Tjahjanto punya siasat tersendiri, antara lain menghindari pembelian alutsista dari para calo. Dengan demikian, pembelian alutsista benar-benar berorientasi pada kebutuhan bukan kepentingan yang mungkin lebih berorientasi pada profit.
Salah satu teladan kemandirian menentukan menurut kebutuhan yaitu pesawat nirawak alias drone. Indonesia pernah memakai produk Israel, negara yang paling menguasai teknologi drone. Tapi hingga kini negara itu tak mau melepas kendali pengoperasian pesawat-pesawat tersebut. Akhirnya, Hadi menentukan drone buatan dalam negeri dan China.
"Alasannya, hanya China yang tak membatasi pemanfaatan drone produksi mereka, siapa pun boleh membeli teknologi maksimal yang mereka hasilkan," kata Hadi dalam buku Anak Sersan Makara Panglima yang diluncurkan, Jumat (16/3/2018).
Pertimbangan lainnya yaitu soal harga, dan kemampuan yang sudah terbukti dalam peperangan di daerah Timur Tengah. Selain itu, produk drone yang ditawarkan ke Indonesia, Rainbow CH-4, bisa terbang selama 40 jam dengan area pengawasan yang bisa diperluas berkali lipat jikalau pesawat dihubungkan dengan satelit milik BRI.
"Rainbow CH-4 punya bentang sayap sepanjang 18 meter, besarnya hampir sama dengan Sukhoi. Drone ini yang paling banyak diminati dan kenyang dengan pengalaman tempur. Di Irak, misalnya, sukses memakai drone yang bentuknya ibarat MQ-9 Reaper dan MQ-1 Predator itu untuk memerangi ISIS," papar Hadi dalam buku yang ditulis teman masa SMA, Eddy Suprapto.
Dengan tubuhnya yang bongsor, CH-4 sanggup membawa beban maksimal 250-345 kilogram, dan materi bakar 165 kg. Ketinggian terbang maksimalnya 8.000 meter dan jarak jelajah maksilam sekitar 250 km, serta bisa menembak dari jarak 5.000 meter.
Dengan kualifikasi mirip itu, Hadi membayangkan kiprah patrol perbatasan dan patrol bahari untuk mencegah penyelundupan, terorisme, atau illegal fishing bisa dilakukan dengan lebih efektif, aman, dan murah ketimbang memakai pesawat berawak.
Kebijakannya dalam menentukan alutsista semacam itu tentu terus dibawanya dikala menjadi KSAU semenjak 18 Januari 2017, dan makin kukuh sehabis dirinya menjadi Panglima Tentara Nasional Indonesia semenjak 8 Desember 2018. Masalah pembelian Alutsista cuma sekelumit dari isi buku ini. Eddy yang berlatar belakang sebagai wartawan juga mengulas lika-liku kehidupan Hadi Tjahjanto di masa kecil, hingga mencapai karier tertinggi di militer sebagai Panglima TNI.
Hadi, alumnus Akademi Angkatan Udara 1986, meniti karier dengan tidak mulus. Meski pernah mengikuti pendidikan staf di Prancis, di lingkungan TNI, Hadi justru pernah diremehkan, dipandang sebelah mata, dipinggirkan, dan jarang diberi doktrin untuk memegang kiprah strategis. Bahkan, Hadi pernah digosipkan sebagai penerbang yang gagal.
"Saya berharap, dongeng perjalanan hidup Panglima Tentara Nasional Indonesia ini menjadi motivasi terutama untuk menghadapi situasi kesulitan ekonomi dan mengingatkan untuk tidak meremehkan orang lain," kata Eddy dalam program yang dihadiri Kolonel Wahyu Tjahjadi, adik Hadi Tjahjanto, dan pengamat militer Jaleswari Pramodhawardhani.
Di tengah anggaran yang terbatas, pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) Tentara Nasional Indonesia tetap dituntut melakukan kiprah dan kewajibannya secara mumpuni. Saat menjabat Inspektur Jenderal Kementerian Pertahanan, Marsekal Hadi Tjahjanto punya siasat tersendiri, antara lain menghindari pembelian alutsista dari para calo. Dengan demikian, pembelian alutsista benar-benar berorientasi pada kebutuhan bukan kepentingan yang mungkin lebih berorientasi pada profit.
Salah satu teladan kemandirian menentukan menurut kebutuhan yaitu pesawat nirawak alias drone. Indonesia pernah memakai produk Israel, negara yang paling menguasai teknologi drone. Tapi hingga kini negara itu tak mau melepas kendali pengoperasian pesawat-pesawat tersebut. Akhirnya, Hadi menentukan drone buatan dalam negeri dan China.
"Alasannya, hanya China yang tak membatasi pemanfaatan drone produksi mereka, siapa pun boleh membeli teknologi maksimal yang mereka hasilkan," kata Hadi dalam buku Anak Sersan Makara Panglima yang diluncurkan, Jumat (16/3/2018).
Pertimbangan lainnya yaitu soal harga, dan kemampuan yang sudah terbukti dalam peperangan di daerah Timur Tengah. Selain itu, produk drone yang ditawarkan ke Indonesia, Rainbow CH-4, bisa terbang selama 40 jam dengan area pengawasan yang bisa diperluas berkali lipat jikalau pesawat dihubungkan dengan satelit milik BRI.
"Rainbow CH-4 punya bentang sayap sepanjang 18 meter, besarnya hampir sama dengan Sukhoi. Drone ini yang paling banyak diminati dan kenyang dengan pengalaman tempur. Di Irak, misalnya, sukses memakai drone yang bentuknya ibarat MQ-9 Reaper dan MQ-1 Predator itu untuk memerangi ISIS," papar Hadi dalam buku yang ditulis teman masa SMA, Eddy Suprapto.
Dengan tubuhnya yang bongsor, CH-4 sanggup membawa beban maksimal 250-345 kilogram, dan materi bakar 165 kg. Ketinggian terbang maksimalnya 8.000 meter dan jarak jelajah maksilam sekitar 250 km, serta bisa menembak dari jarak 5.000 meter.
Dengan kualifikasi mirip itu, Hadi membayangkan kiprah patrol perbatasan dan patrol bahari untuk mencegah penyelundupan, terorisme, atau illegal fishing bisa dilakukan dengan lebih efektif, aman, dan murah ketimbang memakai pesawat berawak.
Kebijakannya dalam menentukan alutsista semacam itu tentu terus dibawanya dikala menjadi KSAU semenjak 18 Januari 2017, dan makin kukuh sehabis dirinya menjadi Panglima Tentara Nasional Indonesia semenjak 8 Desember 2018. Masalah pembelian Alutsista cuma sekelumit dari isi buku ini. Eddy yang berlatar belakang sebagai wartawan juga mengulas lika-liku kehidupan Hadi Tjahjanto di masa kecil, hingga mencapai karier tertinggi di militer sebagai Panglima TNI.
Hadi, alumnus Akademi Angkatan Udara 1986, meniti karier dengan tidak mulus. Meski pernah mengikuti pendidikan staf di Prancis, di lingkungan TNI, Hadi justru pernah diremehkan, dipandang sebelah mata, dipinggirkan, dan jarang diberi doktrin untuk memegang kiprah strategis. Bahkan, Hadi pernah digosipkan sebagai penerbang yang gagal.
"Saya berharap, dongeng perjalanan hidup Panglima Tentara Nasional Indonesia ini menjadi motivasi terutama untuk menghadapi situasi kesulitan ekonomi dan mengingatkan untuk tidak meremehkan orang lain," kata Eddy dalam program yang dihadiri Kolonel Wahyu Tjahjadi, adik Hadi Tjahjanto, dan pengamat militer Jaleswari Pramodhawardhani.
0 Response to "Info!! Alasan Marsekal Hadi Pilih Drone Buatan China"
Post a Comment