Info!! Asumsi Biaya Daur Hidup Alutsista
Oleh: Laksda Tentara Nasional Indonesia Agus Setiadji* MBT Leopard 2A4 Tentara Nasional Indonesia AD [samueltirta] ☆
Keterbatasan alokasi anggaran pertahanan Pemerintah RI selama beberapa dekade turut menjadi faktor utama yang menghambat modernisasi baik di matra darat, maritim maupun udara. Setelah tahun 1980-an, tidak dilaksanakan pengadaan-pengadaan alutsista gres yang mempunyai nilai strategis dan bisa menciptakan detterent efect dalam rangka balancing power di kawasan. Pengadaan alutsista terbaru dalam 10-15 tahun belakangan ini hanya sekitar 19% dari total variasi sistem persenjataan Tentara Nasional Indonesia (Kemhan, 2014).
Peningkatan pembangunan kekuatan pertahanan, terutama yang berkaitan dengan alutsista tidak bisa dilaksanakan dengan terburu-buru serta tanpa melalui perencanaan strategis. Alat utama sistem senjata ialah peralatan persenjataan yang dimiliki militer dalam bentuk kesisteman yang mempunyai imbas terhadap kiprah pokok kesatuan dan mempunyai imbas penggetar sesuai fungsi asasinya.
Berdasarkan proses pembeliannya, alutsista dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu alutsista barang jadi (ready used) dan alutsista berdasarkan pesanan pembeli (tailor made). Alutsista barang jadi merupakan alutsista yang sudah dilaksanakan proses penelitian dan pengujian oleh pabrik pembuat dengan spesifikasi khusus, sehingga proses pengadaannya dimulai pada ketika kontrak ditanda tangani.
Walaupun termasuk ready used, jarang sekali ada alutsista gres yang tersedia di gudang (ready stock). Dikarenakan tingkat resiko dan harganya yang mahal, biasanya alutsista ini hanya dibangun/dibuat apabila kontrak sudah efektif. Contoh alutsista barang jadi antara lain Main Battle Tank (MBT), Helikopter, Pesawat tempur, Peluru Kendali dan lain-lain. Sedangkan alutsista tailor made merupakan alutsista yang spesifikasi teknisnya ditentukan oleh pihak pembeli yang dikomunikasikan secara intensif dengan pelaksana kontrak, sehingga pada ketika tamat pembangunannya, sudah sesuai kebutuhan operasi (operational requirement) dan spesifikasi teknis yang telah disepakati sebelumnya. Contoh alutsista tailor made ialah kapal perang klas korvet dan Perusak Kawal Rudal (PKR), Kapal Selam, Kapal Cepat Rudal dan lain-lain.
Analisa LCC
Pengadaan alutsista harus memperhatikan fungsi yang diawali pada perencanaan, penentuan kebutuhan hingga tahap abolisi pada daur hidup alutsista (Life Cycle Cost/LCC). LCC ialah proses yang lebih detail daripada sistem logistik, proses LCC sanggup memilih daur hidup alutsista, anggaran yang harus dikeluarkan dalam setiap pengadaan alutsista, mulai tahap awal hingga dengan masa penghapusan. LCC atau asumsi biaya daur hidup sebuah peralatan, ialah teknik untuk memperkirakan total biaya kepemilikan peralatan selama masa pakainya, terdiri dari acquisition costs dan sustaining costs.
Acquisition cost ialah biaya awal yang dikeluarkan hingga dengan barang diserahkan (commisioning), sedangkan sustaining cost ialah biaya lanjutan biar material bisa bertahan hingga masuk tahap penghapusan. Tujuan LCC ialah untuk membantu pengambilan keputusan pemerintah terhadap administrasi peralatan sistem persenjataan. Pengambilan keputusan pengelola alutsista, dimulai dari tahap perencanaan, penganggaran dan pemilihan, penelitian dan pengembangan, pengadaan, konstruksi militer (Milcon), operasional alutsista termasuk juga pemeliharaan dan perawatan serta pada tahap penghapusan.
Adapun Product Lifecycle Management (PLM), didefinisikan sebagai sebuah proses untuk mengelola seluruh daur hidup produk mulai dari konsep, tahap desain, produksi, pemeliharaan, hingga kondisi produk tidak sanggup dipakai kembali (Wikipedia, 2010). Definisi lain berdasarkan Mulyadi (2001), Daur Hidup Produk (Product Life Cycle) ialah waktu suatu produk bisa memenuhi kebutuhan pengguna semenjak lahir hingga diputuskan untuk tidak boleh pengoperasiannya.
Perkembangan sistem administrasi sumber daya dan pesatnya kemajuan teknologi, mengakibatkan LCC dianggap sebagai sebuah konsep yang sanggup meningkatkan akurasi perhitungan biaya suatu produk termasuk persenjataan (alutsista). Definisi Life Cycle Cost ialah biaya yang bersangkutan dengan produk selama daur hidupnya, yang meliputi biaya pengembangan (perancanaan, desain, pengujian), biaya produksi, (aktivitas pengubahan sumber daya menjadi produk jadi) serta biaya santunan logistik (distribusi, penyimpanan, maintenance, dan sebagainya).
Gelar Alutsista
Perhitungan pengadaan alutsista yang bersifat tailor made lebih rumit, jikalau dibandingkan dengan alutsista ready used. Pada alutsista yang ready used, sudah tidak memperhitungkan biaya aneka macam aspek pendahuluan, antara lain Research and Development (R&D), product development dan production. Biaya yang muncul pada proses tersebut sudah diperhitungkan dalam totalitas nilai harga barang.
Namun demikian resiko pengadaan alutsista barang jadi (ready used), antara lain:
(1) Pembeli tidak bisa memilih spesifikasi khusus sesuai kebutuhan operasi;
(2) Ketergantungan produksi kepada negara pembuat dan tidak bisa menuntut alih teknologi;
(3) Harga dikendalikan dan ditentukan oleh pihak produsen;
(4) Ketergantungan after sales services.
LCC ialah totalitas biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik/pengguna material, termasuk tahap perencanaan, pengadaan (kebutuhan operasi dan spesifikasi teknis), nilai material, biaya operasional, biaya pemeliharaan dan perawatan, kemungkinan upgrade dalam bentuk peningkatan kemampuan tempur Mid Life Modernization (modernisasi paruh waktu) atau System Lifetime Extension Program (Perpanjangan Usia Pakai) serta tahap penghapusan. LCC peralatan senjata dan alutsista, secara umum sanggup dibagi menjadi dua serpihan pokok, yaitu biaya awal pengadaan material (initial cost) atau biaya pendahuluan (acquisition cost), serta biaya lanjutan (future cost /sustaining cost).
Biaya awal pengadaan (initial cost) dihitung mulai tahap perencanaan hingga dengan ketika alutsista diterima (tahap commissioning), sedangkan biaya lanjutan (sustaining cost) mulai dihitung sehabis material alutsista tersebut diterima hingga penghapusan.
Klasifikasi LCC
Banyak negara di dunia mengelompokkan LCC menjadi beberapa tahapan, diubahsuaikan dengan sistem dan metoda penganggaran masing-masing negara, namun secara garis besar tidak terlalu berbeda. Berdasarkan klarifikasi Defense Acquisition Guidebook (DAG) yang diterbitkan oleh Defense Acquisition University (DAU) Amerika Serikat, LCC diartikan sebagai nilai totalitas biaya peralatan, yang terdiri dari :
(1) Biaya yang ditimbulkan selama fase awal (konseptual) termasuk fase penelitian dan pengembangan;
(2) Biaya selama proses pengadaan (investment cost);
(3) Biaya operasi dan santunan pemeliharaan (operational & sustainment); hingga dengan
(4) Biaya abolisi material. Biaya-biaya tersebut tidak hanya berupa biaya eksklusif fase acquisition saja, tetapi juga biaya tidak eksklusif lain di luar asumsi yang mungkin terjadi (unpredictable cost) (DAU, 2012).
Life Cycle Cost berbeda dengan sistem logistik secara keseluruhan. LCC merupakan serpihan dari sistem logistik, yang mengatur hal-hal perihal biaya daur hidup suatu peralatan termasuk alutsista (weapon system). Departemen Pertahanan Amerika Serikat telah menciptakan standar definisi perihal katagori dan elemen yang berkaitan dengan sistem Life Cycle Cost alutsista (DoD 5000.04-M). Estimasi LCC yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat, ditujukan untuk mengetahui kemungkinan biaya yang harus disiapkan terhadap pengadaan peralatan alutsista.
Pengujian Alutsista
Menurut hukum tersebut, LCC dibagi menjadi empat kategori kegiatan utama, yaitu: (1) biaya penelitian dan pengembangan (RDT&E); (2) biaya investasi (investment cost) yang meliputi pengadaan, konstruksi militer serta akuisisi yang berkaitan dengan operasional dan maintenance (O&M) dihadapkan kepada kegiatan produksi dan distribusi peralatan; (3) biaya O&S (Operational & Sustaintment); dan (4) biaya penghapusan.
Sementara itu forum SPAR Associates Inc di Amerika Serikat, sedikit memisahkan tahap konseptual (penentuan kebutuhan) dari tahap acquisition, serta tetap membagi LCC menjadi empat kelompok, antara lain:
☆ Tahap konseptual (conception stage), ialah tahap acara yang berkaitan dengan perencanaan, penentuan kebutuhan, penelitian dan pengembangan (R&D) yang meliputi pembuatan spesifikasi teknis (contract specifications), desain, pertimbangan ketersediaan anggaran yang dikaitkan dengan kebutuhan operasi dan kemajuan teknologi;
☆ Tahap akuisisi (acquisition stage), ialah semua tahapan yang berkaitan dengan pembangunan/pengadaan alutsista sesuai dengan yang telah ditentukan pada tahap konseptual;
☆ Tahap operasional dan pemeliharaan (in-service stage), ialah semua acara yang berkaitan dengan penggunaan operasi alutsista, santunan logistik selama fase pemeliharaan serta peningkatan kemampuan, yang merupakan tahapan yang paling usang dalam perhitungan Life Cycle Cost (LCC); serta
☆ Tahap abolisi (disposal stage), merupakan tahapan abolisi material alutsista.
Biaya awal pengadaan (Acquisition Costs) terdiri dari biaya penelitian dan pengembangan (R&D), Program Management, Engineering, produksi, sparepart dan ST&TE (Special Tools and Test Equipment), training awal (initial training) serta data dan dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian Departemen Pertahanan Amerika Serikat, biaya awal pengadaan (Acquisition Cost) alutsista, biasanya berkisar antara 20 persen hingga 40 persen dari harga Life Cycle Cost secara keseluruhan.
Sehingga apabila diasumsikan harga fisik sebuah kapal korvet yang sudah jadi sebesar USD 300 juta, maka biaya maksimal (bila harga kapal ialah 20% dari total LCC), yang harus dikeluarkan pemerintah untuk membiayai kapal mulai ketika pembelian kapal korvet tersebut hingga tetap sanggup beroperasi, sesuai fungsi asasi ialah USD 300,000,000 X 5 = USD 1,500,000,000. Sedangkan biaya minimal (bila harga kapal 40% dari nilai total LCC), ialah sebesar USD 300,000,000 X 2,5 = USD 750,000,000. Artinya jikalau kita ingin mempunyai kapal korvet tersebut, Pemerintah harus mempunyai anggaran minimal USD 750 juta dalam menjaga daur hidup satu unit kapal korvet tersebut.
Berdasarkan katagori LCC, biaya pengembangan diperkirakan akan meliputi 25% dari keseluruhan anggaran daur hidup alutsista, biaya produksi membutuhkan persentase anggaran LCC sebesar 25%. Sedangkan pada tahap Operation and Support (O&S) yang merupakan tahapan terpanjang dalam daur hidup alutsista, akan meliputi 45% dari keseluruhan LCC alutsista.
Tahap abolisi maksimal hanya membutuhkan alokasi 5% dari LCC. Hal spesifik yang perlu menjadikan perhatian ialah bahwa pada peralatan militer, persentase antara System Acquisition dan Operating & Support bervariasi, diubahsuaikan dengan kompleksitas dan kecanggihan sistem teknologi. Makin canggih dan kompleks alutsista, akan mengakibatkan biaya operasional dan perawatan semakin besar.
Berdasarkan pengalaman pengadaan alutsista dari aneka macam negara dunia termasuk di Indonesia, pengadaan persenjataan dan alutsista “bekas” terutama yang mempunyai kompleksitas dan teknologi tinggi, sebaiknya dihindari. Apabila harus dilaksanakan, sebelumnya harus melalui perhitungan secara seksama, ditinjau dari aspek efektifitas dan efisiensi anggaran, Analisa Sistem Riset Operasi (ASRO), interoperability, communality dan LCC.
Pengadaan alutsista bekas kelihatannya menguntungkan, sederhana dan praktis, namun apabila dihitung berdasarkan aspek LCC, ternyata sanggup menjadikan kerugian bagi pihak pembeli yang besar, antara lain:
★ Pembeli tidak sanggup mengikuti perkembangan pembangunan alutsista pada tahap acquisioton phase, sehingga kurang menerima gosip berkaitan dengan pengetahuan awal operator untuk mengoperasikan dan memelihara alutsista tersebut;
★ Pembeli kehilangan jejak sejarah pembangunan alutsista dalam rangka melanjutkan periode sustaining phase;
★ Spesifikasi teknis, huruf dan daerah operasi alutsista yang dibeli, seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan operasi pembeli;
★ Sangat menyulitkan pelaksanaan Integrated Logistic Support (ILS), sebab pembeli tidak menerima gosip yang akurat perihal perawatan dilaksanakan, sebelum alutsista bekas tersebut diserahkan;
★ Tidak ada kepastian lanjutan daur hidup alutsista, sehingga biaya operasional selanjutnya bisa jadi akan lebih besar;
★ Dalam rangka operasional dan pemeliharaan, pengawak kurang mempunyai perasaan kedekatan emosional dengan peralatan, sebab mendapatkan dalam kondisi “as it is”;
★ Industri dalam negeri kehilangan kemampuan penguasaan teknologi;
★ Perlu perhiasan alokasi anggaran untuk modifikasi dan modernisasi peralatan, biar sesuai kebutuhan operasional pihak pembeli.
Pertimbangan LCC
Alutsista merupakan sistem kesenjataan yang sangat kompleks sebab terdiri dari aneka macam disiplin ilmu, antara lain: pesawat tempur/terbang, helikopter, kapal perang, tank dan kendaraan tempur lainnya, peluru kendali, meriam dan lain-lainnya, perlakuan dan kebijakan terhadap alutsista sangat memilih kualitas dan daur hidup aluststa. Dalam rangka meningkatkan kekuatan pertahanan suatu negara, dibutuhkan postur yang sesuai dalam menjaga stabilitas pembangunan nasional.
Dihadapkan kepada perkembangan lingkungan strategis dan kondisi alutsista ketika ini, maka perlu pembiasaan alokasi anggaran pertahanan, penentuan prioritas dalam mewujudkan postur kekuatan pertahanan, dan penajaman pemilihan alutsista, antara lain melalui: (1) prioritas pengadaan alutsista bernilai strategis; (2) pemanfaatan satelit dan pesawat patroli maritim dalam rangka surveillance system; (3) menambah kemampuan deteksi coverage radar pertahanan udara dan deteksi laut; serta (4) menempatkan pulau-pulau terluar dan perbatasan wilayah sebagai komponen pertahanan strategis terluar, yang dilengkapi dengan alutsista andal.
Kebutuhan alutsista tidak hanya sekedar pengadaan dengan nilai tertentu, sesuai dengan kebutuhan operasi dan spesifikasi teknis yang diharapkan. Pada dasarnya ketersediaan alokasi anggaran pembangunan alutsista juga harus mempertimbangkan Life Cycle Cost (LCC). Kebijakan pengadaan alutsista bukan gres (bekas), kecuali mempersulit penghitungan alokasi anggaran dan merugikan profesionalisme pengawak, juga menghambat upaya penguasaan teknologi pertahanan.
Beberapa insiden kecelakaan alutsista, sebagian juga diakibatkan oleh kebijakan pembelian alutsista bekas atau alutsista yang sudah terlalu tua. Perhitungan teori daur hidup (lifetime) dan LCC, sanggup dimanfaatkan dalam menghitung kebutuhan anggaran pertahanan negara setiap tahunnya. Beberapa negara di dunia ketika ini telah merampingkan alutsistanya.
Termasuk Angkatan Laut Malaysia (TLDM), yang telah mengurangi armada kapal perangnya menjadi hanya lima kelompok besar, sehingga menghemat biaya pemeliharaan dan perbaikan, yakni: (1) Littoral Combat Ships (LCS), (2) New Generation Patrol Vessel (NGPV), (3) Littoral Mission Ships (LMS), (4) Multi Role Support Ships (MRSS), dan (5) Submarines.
Hal tersebut sanggup menjadi pertimbangan Pemerintah Indonesia dalam rangka memperkuat alutsista dalam aspek pengadaan, pemeliharaan dan peningkatan kualitas pertahanan negara.
*Penulis ialah Lulusan AKABRI Laut tahun 1985, kini menjabat sebagai Sestama Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI
Keterbatasan alokasi anggaran pertahanan Pemerintah RI selama beberapa dekade turut menjadi faktor utama yang menghambat modernisasi baik di matra darat, maritim maupun udara. Setelah tahun 1980-an, tidak dilaksanakan pengadaan-pengadaan alutsista gres yang mempunyai nilai strategis dan bisa menciptakan detterent efect dalam rangka balancing power di kawasan. Pengadaan alutsista terbaru dalam 10-15 tahun belakangan ini hanya sekitar 19% dari total variasi sistem persenjataan Tentara Nasional Indonesia (Kemhan, 2014).
Peningkatan pembangunan kekuatan pertahanan, terutama yang berkaitan dengan alutsista tidak bisa dilaksanakan dengan terburu-buru serta tanpa melalui perencanaan strategis. Alat utama sistem senjata ialah peralatan persenjataan yang dimiliki militer dalam bentuk kesisteman yang mempunyai imbas terhadap kiprah pokok kesatuan dan mempunyai imbas penggetar sesuai fungsi asasinya.
Berdasarkan proses pembeliannya, alutsista dibagi menjadi dua kelompok utama, yaitu alutsista barang jadi (ready used) dan alutsista berdasarkan pesanan pembeli (tailor made). Alutsista barang jadi merupakan alutsista yang sudah dilaksanakan proses penelitian dan pengujian oleh pabrik pembuat dengan spesifikasi khusus, sehingga proses pengadaannya dimulai pada ketika kontrak ditanda tangani.
Walaupun termasuk ready used, jarang sekali ada alutsista gres yang tersedia di gudang (ready stock). Dikarenakan tingkat resiko dan harganya yang mahal, biasanya alutsista ini hanya dibangun/dibuat apabila kontrak sudah efektif. Contoh alutsista barang jadi antara lain Main Battle Tank (MBT), Helikopter, Pesawat tempur, Peluru Kendali dan lain-lain. Sedangkan alutsista tailor made merupakan alutsista yang spesifikasi teknisnya ditentukan oleh pihak pembeli yang dikomunikasikan secara intensif dengan pelaksana kontrak, sehingga pada ketika tamat pembangunannya, sudah sesuai kebutuhan operasi (operational requirement) dan spesifikasi teknis yang telah disepakati sebelumnya. Contoh alutsista tailor made ialah kapal perang klas korvet dan Perusak Kawal Rudal (PKR), Kapal Selam, Kapal Cepat Rudal dan lain-lain.
Analisa LCC
Pengadaan alutsista harus memperhatikan fungsi yang diawali pada perencanaan, penentuan kebutuhan hingga tahap abolisi pada daur hidup alutsista (Life Cycle Cost/LCC). LCC ialah proses yang lebih detail daripada sistem logistik, proses LCC sanggup memilih daur hidup alutsista, anggaran yang harus dikeluarkan dalam setiap pengadaan alutsista, mulai tahap awal hingga dengan masa penghapusan. LCC atau asumsi biaya daur hidup sebuah peralatan, ialah teknik untuk memperkirakan total biaya kepemilikan peralatan selama masa pakainya, terdiri dari acquisition costs dan sustaining costs.
Acquisition cost ialah biaya awal yang dikeluarkan hingga dengan barang diserahkan (commisioning), sedangkan sustaining cost ialah biaya lanjutan biar material bisa bertahan hingga masuk tahap penghapusan. Tujuan LCC ialah untuk membantu pengambilan keputusan pemerintah terhadap administrasi peralatan sistem persenjataan. Pengambilan keputusan pengelola alutsista, dimulai dari tahap perencanaan, penganggaran dan pemilihan, penelitian dan pengembangan, pengadaan, konstruksi militer (Milcon), operasional alutsista termasuk juga pemeliharaan dan perawatan serta pada tahap penghapusan.
Adapun Product Lifecycle Management (PLM), didefinisikan sebagai sebuah proses untuk mengelola seluruh daur hidup produk mulai dari konsep, tahap desain, produksi, pemeliharaan, hingga kondisi produk tidak sanggup dipakai kembali (Wikipedia, 2010). Definisi lain berdasarkan Mulyadi (2001), Daur Hidup Produk (Product Life Cycle) ialah waktu suatu produk bisa memenuhi kebutuhan pengguna semenjak lahir hingga diputuskan untuk tidak boleh pengoperasiannya.
Perkembangan sistem administrasi sumber daya dan pesatnya kemajuan teknologi, mengakibatkan LCC dianggap sebagai sebuah konsep yang sanggup meningkatkan akurasi perhitungan biaya suatu produk termasuk persenjataan (alutsista). Definisi Life Cycle Cost ialah biaya yang bersangkutan dengan produk selama daur hidupnya, yang meliputi biaya pengembangan (perancanaan, desain, pengujian), biaya produksi, (aktivitas pengubahan sumber daya menjadi produk jadi) serta biaya santunan logistik (distribusi, penyimpanan, maintenance, dan sebagainya).
Gelar Alutsista
Perhitungan pengadaan alutsista yang bersifat tailor made lebih rumit, jikalau dibandingkan dengan alutsista ready used. Pada alutsista yang ready used, sudah tidak memperhitungkan biaya aneka macam aspek pendahuluan, antara lain Research and Development (R&D), product development dan production. Biaya yang muncul pada proses tersebut sudah diperhitungkan dalam totalitas nilai harga barang.
Namun demikian resiko pengadaan alutsista barang jadi (ready used), antara lain:
(1) Pembeli tidak bisa memilih spesifikasi khusus sesuai kebutuhan operasi;
(2) Ketergantungan produksi kepada negara pembuat dan tidak bisa menuntut alih teknologi;
(3) Harga dikendalikan dan ditentukan oleh pihak produsen;
(4) Ketergantungan after sales services.
LCC ialah totalitas biaya yang harus dikeluarkan oleh pemilik/pengguna material, termasuk tahap perencanaan, pengadaan (kebutuhan operasi dan spesifikasi teknis), nilai material, biaya operasional, biaya pemeliharaan dan perawatan, kemungkinan upgrade dalam bentuk peningkatan kemampuan tempur Mid Life Modernization (modernisasi paruh waktu) atau System Lifetime Extension Program (Perpanjangan Usia Pakai) serta tahap penghapusan. LCC peralatan senjata dan alutsista, secara umum sanggup dibagi menjadi dua serpihan pokok, yaitu biaya awal pengadaan material (initial cost) atau biaya pendahuluan (acquisition cost), serta biaya lanjutan (future cost /sustaining cost).
Biaya awal pengadaan (initial cost) dihitung mulai tahap perencanaan hingga dengan ketika alutsista diterima (tahap commissioning), sedangkan biaya lanjutan (sustaining cost) mulai dihitung sehabis material alutsista tersebut diterima hingga penghapusan.
Klasifikasi LCC
Banyak negara di dunia mengelompokkan LCC menjadi beberapa tahapan, diubahsuaikan dengan sistem dan metoda penganggaran masing-masing negara, namun secara garis besar tidak terlalu berbeda. Berdasarkan klarifikasi Defense Acquisition Guidebook (DAG) yang diterbitkan oleh Defense Acquisition University (DAU) Amerika Serikat, LCC diartikan sebagai nilai totalitas biaya peralatan, yang terdiri dari :
(1) Biaya yang ditimbulkan selama fase awal (konseptual) termasuk fase penelitian dan pengembangan;
(2) Biaya selama proses pengadaan (investment cost);
(3) Biaya operasi dan santunan pemeliharaan (operational & sustainment); hingga dengan
(4) Biaya abolisi material. Biaya-biaya tersebut tidak hanya berupa biaya eksklusif fase acquisition saja, tetapi juga biaya tidak eksklusif lain di luar asumsi yang mungkin terjadi (unpredictable cost) (DAU, 2012).
Life Cycle Cost berbeda dengan sistem logistik secara keseluruhan. LCC merupakan serpihan dari sistem logistik, yang mengatur hal-hal perihal biaya daur hidup suatu peralatan termasuk alutsista (weapon system). Departemen Pertahanan Amerika Serikat telah menciptakan standar definisi perihal katagori dan elemen yang berkaitan dengan sistem Life Cycle Cost alutsista (DoD 5000.04-M). Estimasi LCC yang dibentuk oleh Departemen Pertahanan Amerika Serikat, ditujukan untuk mengetahui kemungkinan biaya yang harus disiapkan terhadap pengadaan peralatan alutsista.
Pengujian Alutsista
Menurut hukum tersebut, LCC dibagi menjadi empat kategori kegiatan utama, yaitu: (1) biaya penelitian dan pengembangan (RDT&E); (2) biaya investasi (investment cost) yang meliputi pengadaan, konstruksi militer serta akuisisi yang berkaitan dengan operasional dan maintenance (O&M) dihadapkan kepada kegiatan produksi dan distribusi peralatan; (3) biaya O&S (Operational & Sustaintment); dan (4) biaya penghapusan.
Sementara itu forum SPAR Associates Inc di Amerika Serikat, sedikit memisahkan tahap konseptual (penentuan kebutuhan) dari tahap acquisition, serta tetap membagi LCC menjadi empat kelompok, antara lain:
☆ Tahap konseptual (conception stage), ialah tahap acara yang berkaitan dengan perencanaan, penentuan kebutuhan, penelitian dan pengembangan (R&D) yang meliputi pembuatan spesifikasi teknis (contract specifications), desain, pertimbangan ketersediaan anggaran yang dikaitkan dengan kebutuhan operasi dan kemajuan teknologi;
☆ Tahap akuisisi (acquisition stage), ialah semua tahapan yang berkaitan dengan pembangunan/pengadaan alutsista sesuai dengan yang telah ditentukan pada tahap konseptual;
☆ Tahap operasional dan pemeliharaan (in-service stage), ialah semua acara yang berkaitan dengan penggunaan operasi alutsista, santunan logistik selama fase pemeliharaan serta peningkatan kemampuan, yang merupakan tahapan yang paling usang dalam perhitungan Life Cycle Cost (LCC); serta
☆ Tahap abolisi (disposal stage), merupakan tahapan abolisi material alutsista.
Biaya awal pengadaan (Acquisition Costs) terdiri dari biaya penelitian dan pengembangan (R&D), Program Management, Engineering, produksi, sparepart dan ST&TE (Special Tools and Test Equipment), training awal (initial training) serta data dan dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian Departemen Pertahanan Amerika Serikat, biaya awal pengadaan (Acquisition Cost) alutsista, biasanya berkisar antara 20 persen hingga 40 persen dari harga Life Cycle Cost secara keseluruhan.
Sehingga apabila diasumsikan harga fisik sebuah kapal korvet yang sudah jadi sebesar USD 300 juta, maka biaya maksimal (bila harga kapal ialah 20% dari total LCC), yang harus dikeluarkan pemerintah untuk membiayai kapal mulai ketika pembelian kapal korvet tersebut hingga tetap sanggup beroperasi, sesuai fungsi asasi ialah USD 300,000,000 X 5 = USD 1,500,000,000. Sedangkan biaya minimal (bila harga kapal 40% dari nilai total LCC), ialah sebesar USD 300,000,000 X 2,5 = USD 750,000,000. Artinya jikalau kita ingin mempunyai kapal korvet tersebut, Pemerintah harus mempunyai anggaran minimal USD 750 juta dalam menjaga daur hidup satu unit kapal korvet tersebut.
Berdasarkan katagori LCC, biaya pengembangan diperkirakan akan meliputi 25% dari keseluruhan anggaran daur hidup alutsista, biaya produksi membutuhkan persentase anggaran LCC sebesar 25%. Sedangkan pada tahap Operation and Support (O&S) yang merupakan tahapan terpanjang dalam daur hidup alutsista, akan meliputi 45% dari keseluruhan LCC alutsista.
Tahap abolisi maksimal hanya membutuhkan alokasi 5% dari LCC. Hal spesifik yang perlu menjadikan perhatian ialah bahwa pada peralatan militer, persentase antara System Acquisition dan Operating & Support bervariasi, diubahsuaikan dengan kompleksitas dan kecanggihan sistem teknologi. Makin canggih dan kompleks alutsista, akan mengakibatkan biaya operasional dan perawatan semakin besar.
Berdasarkan pengalaman pengadaan alutsista dari aneka macam negara dunia termasuk di Indonesia, pengadaan persenjataan dan alutsista “bekas” terutama yang mempunyai kompleksitas dan teknologi tinggi, sebaiknya dihindari. Apabila harus dilaksanakan, sebelumnya harus melalui perhitungan secara seksama, ditinjau dari aspek efektifitas dan efisiensi anggaran, Analisa Sistem Riset Operasi (ASRO), interoperability, communality dan LCC.
Pengadaan alutsista bekas kelihatannya menguntungkan, sederhana dan praktis, namun apabila dihitung berdasarkan aspek LCC, ternyata sanggup menjadikan kerugian bagi pihak pembeli yang besar, antara lain:
★ Pembeli tidak sanggup mengikuti perkembangan pembangunan alutsista pada tahap acquisioton phase, sehingga kurang menerima gosip berkaitan dengan pengetahuan awal operator untuk mengoperasikan dan memelihara alutsista tersebut;
★ Pembeli kehilangan jejak sejarah pembangunan alutsista dalam rangka melanjutkan periode sustaining phase;
★ Spesifikasi teknis, huruf dan daerah operasi alutsista yang dibeli, seringkali tidak sesuai dengan kebutuhan operasi pembeli;
★ Sangat menyulitkan pelaksanaan Integrated Logistic Support (ILS), sebab pembeli tidak menerima gosip yang akurat perihal perawatan dilaksanakan, sebelum alutsista bekas tersebut diserahkan;
★ Tidak ada kepastian lanjutan daur hidup alutsista, sehingga biaya operasional selanjutnya bisa jadi akan lebih besar;
★ Dalam rangka operasional dan pemeliharaan, pengawak kurang mempunyai perasaan kedekatan emosional dengan peralatan, sebab mendapatkan dalam kondisi “as it is”;
★ Industri dalam negeri kehilangan kemampuan penguasaan teknologi;
★ Perlu perhiasan alokasi anggaran untuk modifikasi dan modernisasi peralatan, biar sesuai kebutuhan operasional pihak pembeli.
Pertimbangan LCC
Alutsista merupakan sistem kesenjataan yang sangat kompleks sebab terdiri dari aneka macam disiplin ilmu, antara lain: pesawat tempur/terbang, helikopter, kapal perang, tank dan kendaraan tempur lainnya, peluru kendali, meriam dan lain-lainnya, perlakuan dan kebijakan terhadap alutsista sangat memilih kualitas dan daur hidup aluststa. Dalam rangka meningkatkan kekuatan pertahanan suatu negara, dibutuhkan postur yang sesuai dalam menjaga stabilitas pembangunan nasional.
Dihadapkan kepada perkembangan lingkungan strategis dan kondisi alutsista ketika ini, maka perlu pembiasaan alokasi anggaran pertahanan, penentuan prioritas dalam mewujudkan postur kekuatan pertahanan, dan penajaman pemilihan alutsista, antara lain melalui: (1) prioritas pengadaan alutsista bernilai strategis; (2) pemanfaatan satelit dan pesawat patroli maritim dalam rangka surveillance system; (3) menambah kemampuan deteksi coverage radar pertahanan udara dan deteksi laut; serta (4) menempatkan pulau-pulau terluar dan perbatasan wilayah sebagai komponen pertahanan strategis terluar, yang dilengkapi dengan alutsista andal.
Kebutuhan alutsista tidak hanya sekedar pengadaan dengan nilai tertentu, sesuai dengan kebutuhan operasi dan spesifikasi teknis yang diharapkan. Pada dasarnya ketersediaan alokasi anggaran pembangunan alutsista juga harus mempertimbangkan Life Cycle Cost (LCC). Kebijakan pengadaan alutsista bukan gres (bekas), kecuali mempersulit penghitungan alokasi anggaran dan merugikan profesionalisme pengawak, juga menghambat upaya penguasaan teknologi pertahanan.
Beberapa insiden kecelakaan alutsista, sebagian juga diakibatkan oleh kebijakan pembelian alutsista bekas atau alutsista yang sudah terlalu tua. Perhitungan teori daur hidup (lifetime) dan LCC, sanggup dimanfaatkan dalam menghitung kebutuhan anggaran pertahanan negara setiap tahunnya. Beberapa negara di dunia ketika ini telah merampingkan alutsistanya.
Termasuk Angkatan Laut Malaysia (TLDM), yang telah mengurangi armada kapal perangnya menjadi hanya lima kelompok besar, sehingga menghemat biaya pemeliharaan dan perbaikan, yakni: (1) Littoral Combat Ships (LCS), (2) New Generation Patrol Vessel (NGPV), (3) Littoral Mission Ships (LMS), (4) Multi Role Support Ships (MRSS), dan (5) Submarines.
Hal tersebut sanggup menjadi pertimbangan Pemerintah Indonesia dalam rangka memperkuat alutsista dalam aspek pengadaan, pemeliharaan dan peningkatan kualitas pertahanan negara.
*Penulis ialah Lulusan AKABRI Laut tahun 1985, kini menjabat sebagai Sestama Badan Keamanan Laut (Bakamla) RI
0 Response to "Info!! Asumsi Biaya Daur Hidup Alutsista"
Post a Comment