Info!! Butuh Anggaran Besar Perkuat Pertahanan Indonesia
Sigma class Tentara Nasional Indonesia AL ●
Indonesia sebagai negara maritim harus memperkuat aspek pertahanan. Namun, hal tersebut masih sulit diwujudkan bila alokasi anggaran di bidang pertahanan belum ideal.
Anggota Komisi I dewan perwakilan rakyat Teuku Riefky Harsya mengatakan, sampai 2004, anggaran pertahanan Indonesia relatif sederhana. Kemudian, di 2005, disusunlah sebuah rencana strategis (renstra) Tentara Nasional Indonesia yang terbagi dalam 4 tahap selama 20 tahun.
Tujuan penyusunan renstra untuk membentuk postur ideal Tentara Nasional Indonesia sebagai bab dari pembentukan Tentara Nasional Indonesia yang profesional dan modern yang diarahkan semoga sanggup menjawab aneka macam kemungkinan tantangan, permasalahan aktual, dan pembangunan kapabilitas jangka panjang yang sesuai dengan kondisi geografis dan dinamika masyarakat.
Peningkatan profesionalisme prajurit Tentara Nasional Indonesia itu harus diimbangi dengan meningkatkan kesejahteraan melalui kecukupan penghasilan prajurit, penyediaan dan kemudahan rumah tinggal, jaminan kesehatan, peningkatan pendidikan dan penyiapan denah asuransi masa tugas.
“Tentunya, untuk mencapai postur ideal tersebut dibutuhkan anggaran yang memadai. Karena itu pula, anggaran pertahanan semenjak 2005 mulai meningkat. Signifikansi lonjakan anggaran sanggup dilihat mulai tahun 2010 (renstra tahap II) di mana pada masa itu, jadwal Minimum Essential Forces (MEF) mulai diterapkan,” ujarnya, Rabu (27/12/2017).
Menurut Riefky, kebijakan pembangunan MEF terdiri dari 3 tahap selama 15 tahun atau mulai 2010 sampai 2024. Kebutuhan anggaran MEF seluruhnya yaitu sebesar Rp 471,28 triliun di mana kebutuhan anggaran masing-masing tahap yaitu sebesar Rp 157,1 triliun.
Selama 10 tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), simpel anggaran pertahanan Indonesia mengalami peningkatan signifikan sampai 400%. Kebutuhan Renstra Tentara Nasional Indonesia pada tahap II yang bertepatan dengan simpulan periode kepemimpinan SBY terpenuhi sampai 97,38% dari kebutuhan yang ada, yakni Rp 255,7 triliun dari Rp 262,57 triliun.
Beralih ke kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertepatan dengan dimulainya renstra Tentara Nasional Indonesia tahap III atau 2015-2019. Kebutuhan anggarannya sebesar Rp 907,20 triliun. Apabila ditambahkan dengan kekurangan anggaran renstra tahap I dan II, secara keseluruhan kebutuhan anggara renstra tahap III, Rp 1.379,23 triliun.
Pihaknya mengaku bangga dikala Presiden Jokowi mewacanakan peningkatan anggaran pertahanan sampai 1,5% dari GDP. Hal tersebut membuktikan adanya kelanjutan dari jadwal tersebut kendati masih belum sepenuhnya terealisasi. Namun sanggup dipahami alasannya pembangunan nasional bukan hanya sektor pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia saja melainkan banyak hal. Kendati kesepakatan yaitu kesepakatan dan pemerintah harus bekerja ekstra keras bagaimana caranya sanggup mewujudkan anggaran pertahanan sebesar 1,5% dari GDP.
“Penagihan terhadap pemenuhan anggaran pertahanan bukan semata pemenuhan kesepakatan tapi memang sebuah kebutuhan bagi bangsa ini. Sebagai negara dengan luas daratan hampir 2 juta km2 dan luas maritim hampir 8 juta km2, Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan pulau-pulaunya yang mencapai lebih dari 17.000 pulau,” katanya.
Besarnya bangsa Indonesia memerlukan kontrol dan perhatian yang besar alasannya alih-alih menjadi khazanah yang menguntungkan, khawatir malah dimanfaatkan oknum atau sekelompok orang untuk merongrong Indonesia.
Menurut Riefky, sebuah negara idealnya mempunyai anggaran pertahanan sebesar 2 sampai 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya. Tidak ada negara yang kekuatan pertahanannya bisa menjaga kepentingan nasional bila anggaran pertahanannya di bawah 1,5% dari PDB.
“Peta kekuatan militer negara-negara di tempat Asia Tenggara menawarkan bahwa rasio anggaran pertahanan masing-masing negara terhadap PDB pada umumnya berada di atas 1 sampai 2% dengan alutsista yang sangat modern. Singapura, Brunei dan bahkan Myanmar mempunyai anggaran di atas 3% dari PDB-nya,” tuturnya.
Rasio pertahanan Indonesia terhadap PDB di bawah 1% dengan kondisi alutsista yang sebagian sudah bau tanah atau bau dan banyak di antaranya sudah tidak laik pakai. Dihadapkan pada situasi kekurangan jumlah dan ketidaksiapan alutsista/alut lainnya, bila tidak dilakukan upaya percepatan penggantian, peningkatan, dan penguatan akan menyulitkan bagi Tentara Nasional Indonesia untuk menjalankan tugasnya yaitu menegakkan kedaulatan negara, keselamatan bangsa dan menjaga keutuhan wilayah NKRI.
Bila melihat statistik pengeluaran anggaran pertahanan negara-negara di Asia Tenggara, pengeluaran Indonesia nomor dua, USD 8,2 miliar di bawah Singapura USD 10 miliar. Namun, apabila dilihat menurut rasio perbandingan persentase terhadap PDB, anggaran pertahanan Indonesia di negara-negara di tempat Asia Tenggara hanya lebih tinggi dari Laos.
“Penagihan terhadap pemenuhan anggaran pertahanan bukan semata pemenuhan kesepakatan tapi memang sebuah kebutuhan bagi bangsa ini. Sebagai negara dengan luas daratan hampir 2 juta Km2 dan luas maritim hampir 8 juta Km2, Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan pulau-pulaunya yang mencapai lebih dari 17.000 pulau,” katanya.
Besarnya bangsa Indonesia memerlukan kontrol dan perhatian yang besar alasannya alih-alih menjadi khazanah yang menguntungkan, khawatir malah dimanfaatkan oknum atau sekelompok orang untuk merongrong Indonesia.
Menurut Riefky, sebuah negara idealnya mempunyai anggaran pertahanan sebesar 2 sampai 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya. Tidak ada negara yang kekuatan pertahanannya bisa menjaga kepentingan nasional bila anggaran pertahanannya di bawah 1,5% dari PDB.
“Peta kekuatan militer negara-negara di tempat Asia Tenggara menawarkan bahwa rasio anggaran pertahanan masing-masing negara terhadap PDB pada umumnya berada di atas 1 sampai 2% dengan alutsista yang sangat modern. Singapura, Bruinei dan bahkan Myanmar mempunyai anggaran di atas 3% dari PDB-nya,” tuturnya.
Rasio pertahanan Indonesia terhadap PDB di bawah 1% dengan kondisi alutsista yang sebagian sudah bau tanah atau bau dan banyak di antaranya sudah tidak laik pakai. Dihadapkan pada situasi kekurangan jumlah dan ketidaksiapan alutsista/alut lainnya, bila tidak dilakukan upaya percepatan penggantian, peningkatan, dan penguatan akan menyulitkan bagi Tentara Nasional Indonesia untuk menjalankan tugasnya yaitu menegakkan kedaulatan negara, keselamatan bangsa dan menjaga keutuhan wilayah NKRI.
Bila melihat statistik pengeluaran anggaran pertahanan negara-negara di Asia Tenggara, pengeluaran Indonesia nomor dua, USD 8,2 miliar di bawah Singapura USD 10 miliar. Namun, apabila dilihat menurut rasio perbandingan persentase terhadap PDB, anggaran pertahanan Indonesia di negara-negara di tempat Asia Tenggara hanya lebih tinggi dari Laos.
Riefky menjelaskan, Singapura mengalokasikan anggaran pertahanan sekira 22% dari pengeluaran total pemerintah tahunan atau sekira 3,3 % dari PDB. Pendekatan jangka panjang negara untuk anggaran pertahanan diarahkan mempertahankan level kemampuan tinggi Angkatan Bersenjata Singapura (SAF) dan mengejar SAF sebagai generasi lanjut angkatan bersenjata yang modern.
Persentase anggaran pertahanan dari PDB Singapura capai 3.3%, lebih tinggi dari rata-rata global yang ada di kisaran 2% PDB, namun angka tersebut masih jauh di bawah batas maskimal anggaran pertahanan Singapura yang punya batas sampai 6% PDB.
Persoalannya, “Paman Sam” yaitu sebuah negara yang memang secara fisik besar sehingga harus dilindungi oleh militer yang besar juga. Sementara Singapura luasnya hanya 710 km2, tidak lebih luas dari Jakarta yang mencapai 740 km2. Jika Singapura mengeluarkan dana yang besar untuk melindungi negaranya yang kecil, maka sangat masuk nalar apabila Indonesia mengeluarkan dana yang jauh lebih besar untuk militer atau pertahanannya.
“Sementara anggaran pertahanan Indonesia hanya 0,9% dari PDB. Atau diibanding rasio APBN, anggaran pertahanan Indonesia hanya 0,82%. Berdasarkan persentase terhadap PDB, maka idealnya anggaran pertahanan Indonesia minimum berkisar antara Rp150 – 200 triliun (1,5 – 2% dari PDB),” ujarnya.
Perhitungan tersebut, kata Riefky, sesuai dengan pembangunan MEF. Apabila Indonesia menginginkan semoga postur pertahanan lebih berwibawa di mata internasional, maka sanggup mencapai Rp 400 sampai maksimal Rp 600 triliun (4-6% dari PDB). Anggaran tersebut sangat masuk akal apabila melihat luasnya geografi Indonesia.
Hal tersebut selaras dengan jadwal besar pemerintahan Jokowi JK yaitu menyebabkan Indonesia sebagai poros maritim internasional dan menyebabkan Indonesia sebagai negara yang mempunyai kekuatan maritim. Negara berkekuatan maritim memang tidak identik dengan kekuatan pertahanan maritim. Tetapi untuk mencapai kondisi ideal, maka pemerintahan Jokowi JK harus tetap melanjutkan jadwal pembangunan pertahanan sebagai upaya menjaga kedaulatan Indonesia yang sebagian besar berdimensi laut.
“Saat ini, maritim Indonesia masih banyak mempunyai lubang-lubang yang sangat gampang ditembus baik oleh militer absurd maupun acara kriminal. Luas perbatasan maritim dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia mencapai 5 juta kilo persegi. Di situ perlu ditempatkan kapal-kapal militer untuk menjaga keamanan dan kedaulatan maritim sebagai upaya pengamanan aset strategis dan sumber daya yang ada di laut,” katanya.
Menurut Riefky, untuk menjaga keamanan dan kedaulatan tersebut, biayanya sangat mahal. Contohnya, empat Kapal Freegat yang gres dibeli dari Belanda harganya mencapai USD 800 juta atau sekira Rp 9,3 triliun, belum termasuk aksesorisnya. Bila ditambah aksesoris harganya mencapai USD 900 juta atau setara Rp 10,5 triliun. Sementara untuk memastikan keamanan laut, dibutuhkan lebih banyak kapal sejenis itu.
“Masalah-masalah yang dihadapi dalam pertahanan nasional yaitu pengamanan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), mengatasi peningkatan kekuatan militer dari negara lain, kemudahan yang belum memadai menyerupai kapal selam dan pesawat Sukhoi. Indonesia akan diperhitungkan oleh negara lain bila kekuatan dan pertahanan maritimnya bagus. Namun, melihat dari perkembangan alat-alat tempur dan kemudahan yang dimiliki masih jauh dari negara lain,” katanya.
Untuk mendukung visi maritim dalam rangka mewujudkan negara maritim, maka salah satu yang harus diprioritaskan yaitu membangun armada pertahanan maritim dana yang akan dibutuhkan untuk memperkuat pertahanan di bidang maritim sangat banyak. Berdasarkan studi yang ada, sambung Riefky, khusus untuk pembangunan armada maritim yang berpengaruh dibutuhkan anggaran sebesar USD 10 miliar atau sekira Rp 118 triliun. Sementara itu, kebutuhan anggaran untuk pertahanan nasional secara umum yaitu sekira Rp 800 triliun untuk 20 tahun ke depan.
Indonesia sebagai negara maritim harus memperkuat aspek pertahanan. Namun, hal tersebut masih sulit diwujudkan bila alokasi anggaran di bidang pertahanan belum ideal.
Anggota Komisi I dewan perwakilan rakyat Teuku Riefky Harsya mengatakan, sampai 2004, anggaran pertahanan Indonesia relatif sederhana. Kemudian, di 2005, disusunlah sebuah rencana strategis (renstra) Tentara Nasional Indonesia yang terbagi dalam 4 tahap selama 20 tahun.
Tujuan penyusunan renstra untuk membentuk postur ideal Tentara Nasional Indonesia sebagai bab dari pembentukan Tentara Nasional Indonesia yang profesional dan modern yang diarahkan semoga sanggup menjawab aneka macam kemungkinan tantangan, permasalahan aktual, dan pembangunan kapabilitas jangka panjang yang sesuai dengan kondisi geografis dan dinamika masyarakat.
Peningkatan profesionalisme prajurit Tentara Nasional Indonesia itu harus diimbangi dengan meningkatkan kesejahteraan melalui kecukupan penghasilan prajurit, penyediaan dan kemudahan rumah tinggal, jaminan kesehatan, peningkatan pendidikan dan penyiapan denah asuransi masa tugas.
“Tentunya, untuk mencapai postur ideal tersebut dibutuhkan anggaran yang memadai. Karena itu pula, anggaran pertahanan semenjak 2005 mulai meningkat. Signifikansi lonjakan anggaran sanggup dilihat mulai tahun 2010 (renstra tahap II) di mana pada masa itu, jadwal Minimum Essential Forces (MEF) mulai diterapkan,” ujarnya, Rabu (27/12/2017).
Menurut Riefky, kebijakan pembangunan MEF terdiri dari 3 tahap selama 15 tahun atau mulai 2010 sampai 2024. Kebutuhan anggaran MEF seluruhnya yaitu sebesar Rp 471,28 triliun di mana kebutuhan anggaran masing-masing tahap yaitu sebesar Rp 157,1 triliun.
Selama 10 tahun masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), simpel anggaran pertahanan Indonesia mengalami peningkatan signifikan sampai 400%. Kebutuhan Renstra Tentara Nasional Indonesia pada tahap II yang bertepatan dengan simpulan periode kepemimpinan SBY terpenuhi sampai 97,38% dari kebutuhan yang ada, yakni Rp 255,7 triliun dari Rp 262,57 triliun.
Beralih ke kepemimpinan Presiden Joko Widodo (Jokowi) bertepatan dengan dimulainya renstra Tentara Nasional Indonesia tahap III atau 2015-2019. Kebutuhan anggarannya sebesar Rp 907,20 triliun. Apabila ditambahkan dengan kekurangan anggaran renstra tahap I dan II, secara keseluruhan kebutuhan anggara renstra tahap III, Rp 1.379,23 triliun.
Pihaknya mengaku bangga dikala Presiden Jokowi mewacanakan peningkatan anggaran pertahanan sampai 1,5% dari GDP. Hal tersebut membuktikan adanya kelanjutan dari jadwal tersebut kendati masih belum sepenuhnya terealisasi. Namun sanggup dipahami alasannya pembangunan nasional bukan hanya sektor pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia saja melainkan banyak hal. Kendati kesepakatan yaitu kesepakatan dan pemerintah harus bekerja ekstra keras bagaimana caranya sanggup mewujudkan anggaran pertahanan sebesar 1,5% dari GDP.
“Penagihan terhadap pemenuhan anggaran pertahanan bukan semata pemenuhan kesepakatan tapi memang sebuah kebutuhan bagi bangsa ini. Sebagai negara dengan luas daratan hampir 2 juta km2 dan luas maritim hampir 8 juta km2, Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan pulau-pulaunya yang mencapai lebih dari 17.000 pulau,” katanya.
Besarnya bangsa Indonesia memerlukan kontrol dan perhatian yang besar alasannya alih-alih menjadi khazanah yang menguntungkan, khawatir malah dimanfaatkan oknum atau sekelompok orang untuk merongrong Indonesia.
Menurut Riefky, sebuah negara idealnya mempunyai anggaran pertahanan sebesar 2 sampai 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya. Tidak ada negara yang kekuatan pertahanannya bisa menjaga kepentingan nasional bila anggaran pertahanannya di bawah 1,5% dari PDB.
“Peta kekuatan militer negara-negara di tempat Asia Tenggara menawarkan bahwa rasio anggaran pertahanan masing-masing negara terhadap PDB pada umumnya berada di atas 1 sampai 2% dengan alutsista yang sangat modern. Singapura, Brunei dan bahkan Myanmar mempunyai anggaran di atas 3% dari PDB-nya,” tuturnya.
Rasio pertahanan Indonesia terhadap PDB di bawah 1% dengan kondisi alutsista yang sebagian sudah bau tanah atau bau dan banyak di antaranya sudah tidak laik pakai. Dihadapkan pada situasi kekurangan jumlah dan ketidaksiapan alutsista/alut lainnya, bila tidak dilakukan upaya percepatan penggantian, peningkatan, dan penguatan akan menyulitkan bagi Tentara Nasional Indonesia untuk menjalankan tugasnya yaitu menegakkan kedaulatan negara, keselamatan bangsa dan menjaga keutuhan wilayah NKRI.
Bila melihat statistik pengeluaran anggaran pertahanan negara-negara di Asia Tenggara, pengeluaran Indonesia nomor dua, USD 8,2 miliar di bawah Singapura USD 10 miliar. Namun, apabila dilihat menurut rasio perbandingan persentase terhadap PDB, anggaran pertahanan Indonesia di negara-negara di tempat Asia Tenggara hanya lebih tinggi dari Laos.
“Penagihan terhadap pemenuhan anggaran pertahanan bukan semata pemenuhan kesepakatan tapi memang sebuah kebutuhan bagi bangsa ini. Sebagai negara dengan luas daratan hampir 2 juta Km2 dan luas maritim hampir 8 juta Km2, Indonesia merupakan salah satu negara kepulauan terbesar di dunia dengan pulau-pulaunya yang mencapai lebih dari 17.000 pulau,” katanya.
Besarnya bangsa Indonesia memerlukan kontrol dan perhatian yang besar alasannya alih-alih menjadi khazanah yang menguntungkan, khawatir malah dimanfaatkan oknum atau sekelompok orang untuk merongrong Indonesia.
Menurut Riefky, sebuah negara idealnya mempunyai anggaran pertahanan sebesar 2 sampai 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB)-nya. Tidak ada negara yang kekuatan pertahanannya bisa menjaga kepentingan nasional bila anggaran pertahanannya di bawah 1,5% dari PDB.
“Peta kekuatan militer negara-negara di tempat Asia Tenggara menawarkan bahwa rasio anggaran pertahanan masing-masing negara terhadap PDB pada umumnya berada di atas 1 sampai 2% dengan alutsista yang sangat modern. Singapura, Bruinei dan bahkan Myanmar mempunyai anggaran di atas 3% dari PDB-nya,” tuturnya.
Rasio pertahanan Indonesia terhadap PDB di bawah 1% dengan kondisi alutsista yang sebagian sudah bau tanah atau bau dan banyak di antaranya sudah tidak laik pakai. Dihadapkan pada situasi kekurangan jumlah dan ketidaksiapan alutsista/alut lainnya, bila tidak dilakukan upaya percepatan penggantian, peningkatan, dan penguatan akan menyulitkan bagi Tentara Nasional Indonesia untuk menjalankan tugasnya yaitu menegakkan kedaulatan negara, keselamatan bangsa dan menjaga keutuhan wilayah NKRI.
Bila melihat statistik pengeluaran anggaran pertahanan negara-negara di Asia Tenggara, pengeluaran Indonesia nomor dua, USD 8,2 miliar di bawah Singapura USD 10 miliar. Namun, apabila dilihat menurut rasio perbandingan persentase terhadap PDB, anggaran pertahanan Indonesia di negara-negara di tempat Asia Tenggara hanya lebih tinggi dari Laos.
Riefky menjelaskan, Singapura mengalokasikan anggaran pertahanan sekira 22% dari pengeluaran total pemerintah tahunan atau sekira 3,3 % dari PDB. Pendekatan jangka panjang negara untuk anggaran pertahanan diarahkan mempertahankan level kemampuan tinggi Angkatan Bersenjata Singapura (SAF) dan mengejar SAF sebagai generasi lanjut angkatan bersenjata yang modern.
Persentase anggaran pertahanan dari PDB Singapura capai 3.3%, lebih tinggi dari rata-rata global yang ada di kisaran 2% PDB, namun angka tersebut masih jauh di bawah batas maskimal anggaran pertahanan Singapura yang punya batas sampai 6% PDB.
Persoalannya, “Paman Sam” yaitu sebuah negara yang memang secara fisik besar sehingga harus dilindungi oleh militer yang besar juga. Sementara Singapura luasnya hanya 710 km2, tidak lebih luas dari Jakarta yang mencapai 740 km2. Jika Singapura mengeluarkan dana yang besar untuk melindungi negaranya yang kecil, maka sangat masuk nalar apabila Indonesia mengeluarkan dana yang jauh lebih besar untuk militer atau pertahanannya.
“Sementara anggaran pertahanan Indonesia hanya 0,9% dari PDB. Atau diibanding rasio APBN, anggaran pertahanan Indonesia hanya 0,82%. Berdasarkan persentase terhadap PDB, maka idealnya anggaran pertahanan Indonesia minimum berkisar antara Rp150 – 200 triliun (1,5 – 2% dari PDB),” ujarnya.
Perhitungan tersebut, kata Riefky, sesuai dengan pembangunan MEF. Apabila Indonesia menginginkan semoga postur pertahanan lebih berwibawa di mata internasional, maka sanggup mencapai Rp 400 sampai maksimal Rp 600 triliun (4-6% dari PDB). Anggaran tersebut sangat masuk akal apabila melihat luasnya geografi Indonesia.
Hal tersebut selaras dengan jadwal besar pemerintahan Jokowi JK yaitu menyebabkan Indonesia sebagai poros maritim internasional dan menyebabkan Indonesia sebagai negara yang mempunyai kekuatan maritim. Negara berkekuatan maritim memang tidak identik dengan kekuatan pertahanan maritim. Tetapi untuk mencapai kondisi ideal, maka pemerintahan Jokowi JK harus tetap melanjutkan jadwal pembangunan pertahanan sebagai upaya menjaga kedaulatan Indonesia yang sebagian besar berdimensi laut.
“Saat ini, maritim Indonesia masih banyak mempunyai lubang-lubang yang sangat gampang ditembus baik oleh militer absurd maupun acara kriminal. Luas perbatasan maritim dan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia mencapai 5 juta kilo persegi. Di situ perlu ditempatkan kapal-kapal militer untuk menjaga keamanan dan kedaulatan maritim sebagai upaya pengamanan aset strategis dan sumber daya yang ada di laut,” katanya.
Menurut Riefky, untuk menjaga keamanan dan kedaulatan tersebut, biayanya sangat mahal. Contohnya, empat Kapal Freegat yang gres dibeli dari Belanda harganya mencapai USD 800 juta atau sekira Rp 9,3 triliun, belum termasuk aksesorisnya. Bila ditambah aksesoris harganya mencapai USD 900 juta atau setara Rp 10,5 triliun. Sementara untuk memastikan keamanan laut, dibutuhkan lebih banyak kapal sejenis itu.
“Masalah-masalah yang dihadapi dalam pertahanan nasional yaitu pengamanan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), mengatasi peningkatan kekuatan militer dari negara lain, kemudahan yang belum memadai menyerupai kapal selam dan pesawat Sukhoi. Indonesia akan diperhitungkan oleh negara lain bila kekuatan dan pertahanan maritimnya bagus. Namun, melihat dari perkembangan alat-alat tempur dan kemudahan yang dimiliki masih jauh dari negara lain,” katanya.
Untuk mendukung visi maritim dalam rangka mewujudkan negara maritim, maka salah satu yang harus diprioritaskan yaitu membangun armada pertahanan maritim dana yang akan dibutuhkan untuk memperkuat pertahanan di bidang maritim sangat banyak. Berdasarkan studi yang ada, sambung Riefky, khusus untuk pembangunan armada maritim yang berpengaruh dibutuhkan anggaran sebesar USD 10 miliar atau sekira Rp 118 triliun. Sementara itu, kebutuhan anggaran untuk pertahanan nasional secara umum yaitu sekira Rp 800 triliun untuk 20 tahun ke depan.
0 Response to "Info!! Butuh Anggaran Besar Perkuat Pertahanan Indonesia"
Post a Comment