Info!! Perjalanan Diam-Diam Ke Polandia
Kisah Awak Kapal Selam Indonesia
Lelaki itu membuka tirai ruang keluarga, kemudian menuju ruang keluarga rumahnya yang jembar. Ia sudah rapi dengan baju koko putih dan celana kain berwarna cokelat. Langkahnya sudah pelan, namun tubuhnya masih terlihat tegap. Sebundel koran edisi terbaru tergulung di tangan kiri laki-laki yang sebentar lagi berusia 86 tahun itu. Sambil menyodorkan tangan, ia memperkenalkan diri: Handogo.
Handogo yaitu salah satu sesepuh Satuan Kapal Selam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Purnawirawan bintang dua itu pernah menjadi orang nomor satu di satuan yang dulu pernah berjulukan Komando Jenis Kapal Selam tersebut. "Saya salah seorang kru dua kapal selam pertama Indonesia," ungkapnya kepada detikX di kediamannya, tempat Kebon Pala, Jakarta Timur, Kamis, 24 Agustus 2017.
Kisah perkenalannya dengan kapal bawah air dimulai ketika munculnya kabar akan diadakan tes masuk pendidikan kru kapal selam hampir 60 tahun lalu. Handogo kala itu masih menjadi perwira di RI Cepu, tanker milik Angkatan Laut. "Saya pikir pendidikannya niscaya istimewa. Makanya saya tertantang ikut," ujar Handogo. Saat itu Angkatan Laut belum punya kapal selam. "Tentunya para pelaut yang lolos akan menjadi kru kapal selam pertama di Angkatan Laut."
RM Handogo (kanan) ketika masih menjabat Panglima Daerah Angkatan Laut IV di Manado, Sulawesi Utara [dok. Laksda (Purn) RM Handogo]
Tanpa pikir panjang lagi, Handogo mendaftar tes tersebut. Komandannya di RI Cepu, Mayor (Pelaut) O.P. Koesno, ternyata ikut juga. Keduanya bersama 110 pelaut lainnya dinyatakan lolos tes. Komandan RI Pati Unus Mayor Raden Panji Poernomo dan Koesno menjadi perwira tertinggi di antara mereka. "Tapi saya tak tahu akan dikirim ke mana," kata ayah dua anak itu. Menjelang keberangkatan, mereka gres tahu lokasi pendidikan berada di Polandia. "Kami diminta tutup lisan rapat-rapat."
Instruksi merahasiakan tempat pendidikan juga sangat dijaga Mayor Poernomo. Bahkan kepada istrinya, Aminarti, Poernomo tak menceritakan detailnya. "Bapak hanya bilang, ia akan pergi dalam rangka kiprah negara mengikuti pendidikan dan latihan untuk beberapa lama," ujar Aminarti kepada detikX di rumahnya, daerah Rawamangun, Jakarta Timur, beberapa hari lalu. "Bapak juga minta tak usah omong-omong jikalau pergi pendidikan."
Pada 5 Agustus 1958, 112 orang calon kru kapal selam diberangkatkan dari Dermaga Ujung, Surabaya, dengan menumpang kapal berbendera Denmark, MV Heinrich Jessen. Rupanya, kata Handogo, rombongan dari Indonesia tak hanya calon kru kapal selam. Bersama mereka diberangkatkan juga ratusan calon awak kapal perusak yang gres dibeli dari Uni Soviet.
Kapal yang disewa khusus itu ternyata tak eksklusif menuju Polandia. Perjalanan mereka dengan MV Heinrich Jessen berakhir di Pelabuhan Rijeka, Yugoslavia. "Kami kemudian diangkut naik kereta api," ujar mantan Panglima Daerah Angkatan Laut IV itu. Kereta api yang mereka naiki mengambil jalur negara Eropa Timur melalui Hungaria dan Cekoslovakia hingga di Stasiun Gdynia di Teluk Gdansk, Polandia. "Sepanjang perjalanan, kami tidak boleh membuka tirai jendela."
Komandan RI Tjakra dan Komandan RI Nanggala dalam upacara penyerahan dua kapal selam kepada KSAL R.E. Martadinata di Komando Armada Surabaya, 1959. [Foto: dok. Dispen ALRI]
Para calon kru kapal selam ini ditempatkan di asrama di Desa Oxyvia. Di sana sudah menunggu pelatih dari Angkatan Laut Uni Soviet. Dalam kondisi normal, pendidikan tersebut dapat berlangsung hingga 2 tahun. Namun rupanya ada undangan khusus dari Jakarta untuk mempersingkat. "Presiden Sukarno menunggu kekuatan kapal selam biar segera dapat bergabung," ujar Handogo.
Latihan spartan pun harus dilalui Handogo dan rekan-rekannya. Kelas-kelas teori digeber hingga larut malam. Kendala bahasa disiasati dengan merekrut penerjemah ke dalam bahasa Inggris. "Bagi perwira, tidak jadi masalah. Nah, bagi anak buah kami, harus ada yang jelaskan lagi dalam bahasa Indonesia," katanya.
Ujian final digelar sesudah 9 bulan latihan. Tim pengujinya perwira-perwira senior Angkatan Laut Uni Soviet, yang diketuai seorang laksamana. Menurut putra Poernomo, Raditya Poernomo, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Madya R. Soebijakto menyaksikan eksklusif ujian tersebut. Sejumlah penugasan diberikan, ibarat menyeimbangkan kapal dan demonstrasi membawa kapal ke permukaan air. "Tugas terakhirnya crash dive atau menyelam cepat," ujar Raditya, mengutip kisah yang pernah dituturkan almarhum ayahnya.
Dalam posisi kapal selam mengapung, Poernomo, yang ditunjuk menjadi komandan, meneriakkan "menyelam cepat" sambil menutup pintu masuk dan melompat ke bawah. Saat itu pula para penguji menekan stopwatch. Para awak segera mengerjakan kiprah masing-masing, hingga kapal mencapai kedalaman periskop atau 14 meter. Saat posisi kapal sudah horizontal, para penguji kembali menekan stopwatch.
Raditya menuturkan, laksamana dari kesatuan Tentara Merah itu berteriak "horosho", yang artinya baik, sambil menjabat tangan Poernomo dan Laksdya Soebijakto. Batas waktu crash dive yang diizinkan 45 detik, sementara kru Indonesia berhasil menorehkan waktu 42 detik. "Saat itu Pak Soebijakto bilang ke Bapak, ‘Saya iri kepada Anda.’ Mayor Poernomo, jadilah komandan kapal selam yang baik," ujar Raditya menirukan.
Seusai pendidikan, semua kru kapal selam pulang ke Indonesia, kecuali Mayor Poernomo dan Mayor Koesno, yang ditunjuk sebagai komandan dua kapal selam yang dibeli dari Uni Soviet. Didampingi dua kepala kamar mesin, Poernomo dan Koesno terbang ke Moskow. Dari Moskow, mereka melanjutkan perjalanan kembali ke Pangkalan Vladivostok, markas Armada Pasifik Uni Soviet. Sampai di pangkalan, mereka eksklusif masuk ke kapal selam masing-masing untuk berangkat ke Indonesia dibantu sejumlah pelaut Uni Soviet.
Upacara penyerahan dua kapal selam ALRI, yakni RI Tjakra dan RI Nanggala, dari pemerintah Uni Soviet kepada pemerintah Indonesia, 12 September 1959, di Surabaya. [Foto: dok. Dispen ALRI]
Abdul Haris Nasution dalam bukunya Sedjarah Perdjuangan Nasional di Bidang Bersendjata menyebut pembelian kapal-kapal selam tersebut menurut persetujuan Indonesia-Uni Soviet pada 1958. Pembeliannya pun melalui kredit jangka panjang tanpa syarat politik dan ideologi. Pada Desember 1960, Jenderal Nasution, yang menjabat Menteri Keamanan Nasional/KSAD, menuju Moskow untuk melaksanakan pembelian peralatan militer, termasuk penambahan kapal selam, kapal perusak, tank, dan persenjataan lainnya.
Dua kapal selam kelas Whiskey pertama yang dimiliki Indonesia itu datang di Indonesia pada 7 September 1959. Lima hari kemudian, dilakukan serah-terima kepada pemerintah Indonesia yang diwakili Kolonel Laut Raden Eddy Martadinata selaku Kepala Staf Angkatan Laut. Kedua kapal itu diberi nama RI Tjakra S-01 dan RI Nanggala S-02. Mayor Poernomo ditunjuk menjadi Komandan Divisi Kapal Selam merangkap Komandan RI Tjakra. Sedangkan Mayor Koesno menjadi Komandan RI Nanggala. Hari bersejarah itulah yang sekarang setiap tahun diperingati sebagai hari lahir Korps Hiu Kencana.

Handogo yaitu salah satu sesepuh Satuan Kapal Selam Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. Purnawirawan bintang dua itu pernah menjadi orang nomor satu di satuan yang dulu pernah berjulukan Komando Jenis Kapal Selam tersebut. "Saya salah seorang kru dua kapal selam pertama Indonesia," ungkapnya kepada detikX di kediamannya, tempat Kebon Pala, Jakarta Timur, Kamis, 24 Agustus 2017.
Kisah perkenalannya dengan kapal bawah air dimulai ketika munculnya kabar akan diadakan tes masuk pendidikan kru kapal selam hampir 60 tahun lalu. Handogo kala itu masih menjadi perwira di RI Cepu, tanker milik Angkatan Laut. "Saya pikir pendidikannya niscaya istimewa. Makanya saya tertantang ikut," ujar Handogo. Saat itu Angkatan Laut belum punya kapal selam. "Tentunya para pelaut yang lolos akan menjadi kru kapal selam pertama di Angkatan Laut."
"Presiden Sukarno menunggu kekuatan kapal selam biar segera dapat bergabung."
Handogo, perwira di RI Cepu, tanker milik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut

Tanpa pikir panjang lagi, Handogo mendaftar tes tersebut. Komandannya di RI Cepu, Mayor (Pelaut) O.P. Koesno, ternyata ikut juga. Keduanya bersama 110 pelaut lainnya dinyatakan lolos tes. Komandan RI Pati Unus Mayor Raden Panji Poernomo dan Koesno menjadi perwira tertinggi di antara mereka. "Tapi saya tak tahu akan dikirim ke mana," kata ayah dua anak itu. Menjelang keberangkatan, mereka gres tahu lokasi pendidikan berada di Polandia. "Kami diminta tutup lisan rapat-rapat."
Instruksi merahasiakan tempat pendidikan juga sangat dijaga Mayor Poernomo. Bahkan kepada istrinya, Aminarti, Poernomo tak menceritakan detailnya. "Bapak hanya bilang, ia akan pergi dalam rangka kiprah negara mengikuti pendidikan dan latihan untuk beberapa lama," ujar Aminarti kepada detikX di rumahnya, daerah Rawamangun, Jakarta Timur, beberapa hari lalu. "Bapak juga minta tak usah omong-omong jikalau pergi pendidikan."
Pada 5 Agustus 1958, 112 orang calon kru kapal selam diberangkatkan dari Dermaga Ujung, Surabaya, dengan menumpang kapal berbendera Denmark, MV Heinrich Jessen. Rupanya, kata Handogo, rombongan dari Indonesia tak hanya calon kru kapal selam. Bersama mereka diberangkatkan juga ratusan calon awak kapal perusak yang gres dibeli dari Uni Soviet.
Kapal yang disewa khusus itu ternyata tak eksklusif menuju Polandia. Perjalanan mereka dengan MV Heinrich Jessen berakhir di Pelabuhan Rijeka, Yugoslavia. "Kami kemudian diangkut naik kereta api," ujar mantan Panglima Daerah Angkatan Laut IV itu. Kereta api yang mereka naiki mengambil jalur negara Eropa Timur melalui Hungaria dan Cekoslovakia hingga di Stasiun Gdynia di Teluk Gdansk, Polandia. "Sepanjang perjalanan, kami tidak boleh membuka tirai jendela."

Para calon kru kapal selam ini ditempatkan di asrama di Desa Oxyvia. Di sana sudah menunggu pelatih dari Angkatan Laut Uni Soviet. Dalam kondisi normal, pendidikan tersebut dapat berlangsung hingga 2 tahun. Namun rupanya ada undangan khusus dari Jakarta untuk mempersingkat. "Presiden Sukarno menunggu kekuatan kapal selam biar segera dapat bergabung," ujar Handogo.
Latihan spartan pun harus dilalui Handogo dan rekan-rekannya. Kelas-kelas teori digeber hingga larut malam. Kendala bahasa disiasati dengan merekrut penerjemah ke dalam bahasa Inggris. "Bagi perwira, tidak jadi masalah. Nah, bagi anak buah kami, harus ada yang jelaskan lagi dalam bahasa Indonesia," katanya.
Ujian final digelar sesudah 9 bulan latihan. Tim pengujinya perwira-perwira senior Angkatan Laut Uni Soviet, yang diketuai seorang laksamana. Menurut putra Poernomo, Raditya Poernomo, Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Madya R. Soebijakto menyaksikan eksklusif ujian tersebut. Sejumlah penugasan diberikan, ibarat menyeimbangkan kapal dan demonstrasi membawa kapal ke permukaan air. "Tugas terakhirnya crash dive atau menyelam cepat," ujar Raditya, mengutip kisah yang pernah dituturkan almarhum ayahnya.

Raditya menuturkan, laksamana dari kesatuan Tentara Merah itu berteriak "horosho", yang artinya baik, sambil menjabat tangan Poernomo dan Laksdya Soebijakto. Batas waktu crash dive yang diizinkan 45 detik, sementara kru Indonesia berhasil menorehkan waktu 42 detik. "Saat itu Pak Soebijakto bilang ke Bapak, ‘Saya iri kepada Anda.’ Mayor Poernomo, jadilah komandan kapal selam yang baik," ujar Raditya menirukan.
Seusai pendidikan, semua kru kapal selam pulang ke Indonesia, kecuali Mayor Poernomo dan Mayor Koesno, yang ditunjuk sebagai komandan dua kapal selam yang dibeli dari Uni Soviet. Didampingi dua kepala kamar mesin, Poernomo dan Koesno terbang ke Moskow. Dari Moskow, mereka melanjutkan perjalanan kembali ke Pangkalan Vladivostok, markas Armada Pasifik Uni Soviet. Sampai di pangkalan, mereka eksklusif masuk ke kapal selam masing-masing untuk berangkat ke Indonesia dibantu sejumlah pelaut Uni Soviet.

Abdul Haris Nasution dalam bukunya Sedjarah Perdjuangan Nasional di Bidang Bersendjata menyebut pembelian kapal-kapal selam tersebut menurut persetujuan Indonesia-Uni Soviet pada 1958. Pembeliannya pun melalui kredit jangka panjang tanpa syarat politik dan ideologi. Pada Desember 1960, Jenderal Nasution, yang menjabat Menteri Keamanan Nasional/KSAD, menuju Moskow untuk melaksanakan pembelian peralatan militer, termasuk penambahan kapal selam, kapal perusak, tank, dan persenjataan lainnya.
Dua kapal selam kelas Whiskey pertama yang dimiliki Indonesia itu datang di Indonesia pada 7 September 1959. Lima hari kemudian, dilakukan serah-terima kepada pemerintah Indonesia yang diwakili Kolonel Laut Raden Eddy Martadinata selaku Kepala Staf Angkatan Laut. Kedua kapal itu diberi nama RI Tjakra S-01 dan RI Nanggala S-02. Mayor Poernomo ditunjuk menjadi Komandan Divisi Kapal Selam merangkap Komandan RI Tjakra. Sedangkan Mayor Koesno menjadi Komandan RI Nanggala. Hari bersejarah itulah yang sekarang setiap tahun diperingati sebagai hari lahir Korps Hiu Kencana.
♞ detikX
0 Response to "Info!! Perjalanan Diam-Diam Ke Polandia"
Post a Comment