Info!! [Dunia] Sekilas Informasi Krisis Di Semenanjung Korea
Korea Utara dalam Kondisi Terkepung? Kapal induk USS Carl Vinson dikawal sejumlah kapal perang [AFP)] ☆
Hingga April 2017, tensi politik dan militer di Semenanjung Korea perlahan mengalami eskalasi.
Saat ini, situasi di Korea sedang berada pada kondisi yang cukup tegang. Pernyataan saling balas serangan misil kerap dilontarkan sejumlah tokoh petinggi negara yang terlibat pada 'perang dingin' Korea Utara versus sejumlah negara koalisi Amerika Serikat.
Selain itu, beberapa koalisi Negeri Paman Sam di semenanjung, menyerupai Jepang dan Korea Selatan, tengah mempersiapkan beberapa kapal perangnya.
Tak mau kalah, Kim Jong-un juga dilaporkan melaksanakan latihan artileri besar-besaran sebagai bentuk unjuk gigi kepada para negara yang berniat melaksanakan provokasi terhadap Korea Utara.
Pada Sabtu 29 April 2017, Pyongyang bahkan melaksanakan uji rudal balistik -- yang meledak beberapa detik sesudah diluncurkan.
Rusia dan China juga dikabarkan ikut andil dalam ceruk carut-marut tersebut.
Seruan Presiden Jokowi soal Korea Utara
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiba di Istana Malacanang di Manila, Filipina, Jumat (28/4). Kedatangan Jokowi disambut eksklusif oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte. [setkab]
Presiden Joko Widodo menaruh perhatian pada kondisi terkini di Semenanjung Korea. Saat ini, wilayah itu tengah memanas terkait agresi provokasi militer Korea Utara. Amerika Serikat kemudian merespons dengan menyiagakan sejumlah armada perangnya sebagai bentuk antisipasi.
"ASEAN harus mengirim pesan berpengaruh kepada Korea Utara supaya mentaati semua resolusi Dewan Keamanan PBB," ujar Jokowi sesi retreat di KTT ASEAN ke-30 di Formal Living Room, Coconut Palace, Manila Sabtu, (29/4/2017).
Jokowi berharap, semua negara ASEAN bisa menahan diri. Sehingga ketegangan yang dikala ini terasa bisa reda dan tidak semakin buruk.
"Stabilitas dan perdamaian di Semenanjung Korea harus segera dikembalikan," imbuh dia.
Presiden menambahkan, bila situasi di tempat Semenanjung Korea dibiarkan berlarut-larut maka tempat Laut China Selatan pasti akan terdampak.
Mantan Walikota Solo ini pun memastikan akan membahas hal itu dikala bertemu dengan Presiden China, Xi Jinping, dalam waktu dekat.
Para pemimpin ASEAN juga membahas isu internasional lain, menyerupai pemberantasan terorisme dan Laut China Selatan. Mereka mengharapkan kiranya Kerangka Code of Conduct (CoC) sanggup diselesaikan pertengahan tahun ini.
Kerangka CoC telah dibahas di Bali pada Desember 2016 antara ASEAN dan Tiongkok (Bali draft). Draf tersebut kemudian semakin disempurnakan dalam pertemuan di Siem Reap (Kamboja) pada simpulan Maret 2017.
Indonesia mengharapkan kiranya tempat Laut Tiongkok Selatan tidak dijadikan proyeksi bagi kekuatan negara-negara besar.
"Indonesia mengajak Republik Rakyat Tiongkok untuk terus memperlihatkan bantuan bagi stabilitas dan perdamaian di Laut Tiongkok Selatan," pungkas Jokowi.
US$ 3 Triliun Dipertaruhkan Jika Perang Pecah
Rudal kapal selam dipamerkan di parade kelahiran Kim Il-sung di Korut (AP Photo]
Ketegangan antara Korea Utara dengan Amerika Serikat yang akhir-akhir ini terjadi kian mengkhawatirkan sejumlah pihak. Terlebih, kedua negara sama-sama mempunyai kemampuan nuklir
Jika ketegangan kedua negara pecah, perang termonuklir akan menjadi peristiwa kemanusiaan dan ekologis bagi seluruh wilayah. Radiasi akhir perang tersebut juga sanggup mengakibatkan peristiwa nuklir hingga ke Korea Selatan, China, Rusia, dan Jepang.
Namun bila perang tersebut tak memakai senjata nuklir dan rezim Kim Jong-un jatuh, maka alternatif jelek lainnya tetap menghantui.
Konsekuensi pertama adalah, keluarga Kim dan semua pihak yang bekerjasama dengan Partai Buruh Korea yang berkuasa harus meninggalkan negaranya.
"Polisi belakang layar dan pejabat partai akan mencari dukungan di negara tetangga China atau Rusia," ujar peneliti dari National University, Leonid Petrov, menyerupai dikutip dari News.com.au, Minggu (30/4/2017).
"Tidak ada tempat bagi klan Kim bila Korut dan Korsel bergabung, saudara laki-lakinya, sepupu, bibi, dan pamannya, mereka tidak sanggup dipisahkan dari rezim dan akan diadili sebagai penjahat."
"Beberapa negara Amerika Selatan mungkin bersedia memperlihatkan dukungan kepada mereka -- Bolivia, Venezula, Guatemala...negara-negara yang anti-Amerika mungkin mendukung," terang Petrov.
Jadi, apa yang akan terjadi dengan rakyat Korea Utara tanpa Kim Jong-un sebagai pemimpin tertinggi mereka?
Menurut Petrov, alasannya kekurangan uang, makanan, dan tempat tinggal, mereka juga mungkin akan mencari dukungan di China, Rusia, dan Korea Selatan. Namun negara-negara itu tak akan selalu terbuka terhadap masuknya pengungsi Korea Utara.
Masalah bagi 30 Juta Orang
China merupakan rumah bagi sekitar 100.000 pembelot Korea Utara dan tampaknya tak menginginkan lebih banyak warga Korut untuk masuk ke negaranya.
Menurut ilmuwan Rand Corporation, Andrew Scobell, China telah memikirkan skenario semacam itu dalam kurun yang cukup usang dan mungkin akan memperkuat perbatasan dengan pengerahan pasukan.
Menurut Scobell, mungkin sebagian warga Korut akan mencoba berpindah dari satu kota ke kota lain untuk mencari perlindungan, sementara lainnya akan menyeberang ke Korea Selatan. Namun bila pertempuran berlangsung di DMZ -- perbatasan Korut-Korsel, perpindahan warga hampir tak sanggup terjadi.
Menurut Petrov, hal yang mungkin terjadi yaitu reunifikasi Korea Utara dan Selatan. Meski demikian itu akan berdampak pada problem ekonomi dan sosial yang mendalam.
Penjagaan ketat di tempat DMZ atau perbatasan Korea Selatan-Korea Utara. (istimewa)
"Ekonomi Korea Selatan mencapai puncaknya," ujar Petrov. "Mereka butuh mengakses sumber daya dan tenaga murah."
"Korea Selatan kemungkinan memakai kesempatan itu untuk mengeksploitasi Korea Utara yang berpendidikan lebih rendah dan kurangnya pengalaman dalam keahlian. Jutaan pekerja Korut akan menjadi warga kelas dua, akan ada diskriminasi besar-besaran, bahkan perbatasan kemungkinan akan dijaga selama bertahun-tahun untuk menghentikan migrasi massal."
"Akan diharapkan setidaknya 10 tahun sebelum angka kesejahteraan seimbang antara Utara dan Selatan. Selama 10 tahun itu, penyatuan kedua negara akan sangat mahal, US$ 3 triliun (sekitar Rp 40.029 triliun) atau lebih. Akan ada ketegangan sosial antara Korea Selatan dan Korea Utara."
"Kedua negara terisolasi satu sama lain, mereka berbicara dengan dialek berbeda, dan memahami dunia dengan berbeda," terang Petrov.
Reunifikasi Tak Berjalan Mulus
Reunifikasi Korea telah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun. Mantan Presiden Korea Selatan, Kim Dae-jung memperoleh Penghargaan Nobel pada 2000 alasannya mengimplementasi kebijakan Sunshine Policy untuk meningkatkan relasi politik antara kedua negara.
Namun pada 2008, pemerintah konservatif mengakhiri proses tersebut dan para andal mengkhwatirkan adanya reunfikasi yang tak berjalan mulus.
"Unifikasi Jerman Timur dan Barat merupakan hal yang sangat gampang bila dibandingkan dengan apa yang akan terjadi di Korea Utara dan Selatan ketika reunifikasi terjadi secara tak terkontrol," ujar Petrov. "Ini akan menjadi problem sosiologi dan demografi yang besar," imbuh dia.
"Korea Selatan mungkin tidak akan mendukung Amerika dalam upaya keterbukaan militer melawan Korea Utara. Aliansi Amerika-Korea Selatan akan mencair."
"Pertumbuhan ekonomi di Korea Utara memberi Korea Selatan kanal sumber daya alam lebih banyak, tenaga kerja murah, dan transporasi, contohnya menghubungkan jalur kereta api Korea Selatan dengan China."
Perang AS-Korut Bisa Musnahkan Sebagian Besar Umat Manusia
Krisis yang terjadi di Semenanjung Korea turut menyita perhatian Paus Fransiskus. Pemimpin tertinggi umat Kristen tersebut mengungkapkan kekhawatiran, bahwa meningkatnya ketegangan Amerika Serikat dan Korea Utara sanggup memicu konflik militer yang bisa memusnahkan "sebagian besar umat manusia."
Paus Fransiskus pun menyerukan supaya diperbaruinya upaya diplomasi dengan memakai mediator pihak ketiga dan PBB untuk mengambil kiprah utama dalam ketegangan yang semakin meningkat.
Pernyataan tersebut disampaikan Paus sekembalinya ia dari lawatan ke Mesir. Pria yang fasih berbicara dalam Bahasa Spanyol, Italia, dan Jerman itu ditanya oleh wartawan seputar apa yang akan disampaikannya kepada para pemimpin dunia di tengah kondisi kritis dikala ini.
Ia mengatakan, "Situasinya sudah terlalu memanas. Saya selalu mengajukan sebuah solusi melalui jalur diplomatik."
Paus Fransiskus yang beberapa tahun terakhir kerap menyinggung bertahap wacana 'Perang Dunia III' mengatakan, konflik yang meningkat akan berdampak sangat menghancurkan.
"Sedikit demi sedikit tapi potongannya semakin besar dan terkonsentrasi di tempat yang sudah panas. Hari ini sebuah perang yang lebih luas akan menghancurkan, saya tidak ingin menyebut setengah dari manusia, namun sebagian besar insan dan budaya (akan musnah). Itu akan sangat dahsyat. Saya rasa umat insan dikala ini tidak sanggup menanggungnya," ujar Paus Fransiskus menyerupai dilansir CNN, Minggu, (30/4/2017).
Menurutnya, diplomasi merupakan respons terbaik yang harus dilakukan dikala ini.
"Saya rasa PBB mempunyai kiprah untuk melanjutkan kepemimpinannya...," imbuhnya.
Lebih lanjut, Paus Fransiskus menyarankan supaya pihak ketiga memfasilitasi pembicaraan antara Washington dengan Pyongyang. Ia mencontohkan Norwegia, sementara dikala ini AS menentukan Swedia untuk mewakili kepentingan diplomatiknya di Korut.
Perjalanan Paus Fransiskus ke Mesir sendiri bertujuan untuk menjalin persaudaraan antar umat Islam-Kristen, serta memperlihatkan solidaritas terhadap penganut Kristen Koptik yang merupakan minoritas di Negeri Piramida.
Teranyar, Korut dikabarkan kembali melaksanakan uji coba misil balistik pada Sabtu 29 April 2017 pagi. Misil diluncurkan dari bab utara Pyongyang, tepatnya di Pukchang.
Namun uji coba dilaporkan gagal. Dan itu tercatat sebagai kegagalan keempat semenjak Maret 2017.
"Kemungkinan daya jangkau misil tersebut medium atau biasa kami sebut KN-17 dan kami melihat tak usang sesudah diluncurkan misil tersebut kehilangan daya," sebut seorang pejabat militer AS menyerupai dikutip dari Asian Correspondent pada Sabtu 29 April 2017.
Hingga April 2017, tensi politik dan militer di Semenanjung Korea perlahan mengalami eskalasi.
Saat ini, situasi di Korea sedang berada pada kondisi yang cukup tegang. Pernyataan saling balas serangan misil kerap dilontarkan sejumlah tokoh petinggi negara yang terlibat pada 'perang dingin' Korea Utara versus sejumlah negara koalisi Amerika Serikat.
Selain itu, beberapa koalisi Negeri Paman Sam di semenanjung, menyerupai Jepang dan Korea Selatan, tengah mempersiapkan beberapa kapal perangnya.
Tak mau kalah, Kim Jong-un juga dilaporkan melaksanakan latihan artileri besar-besaran sebagai bentuk unjuk gigi kepada para negara yang berniat melaksanakan provokasi terhadap Korea Utara.
Pada Sabtu 29 April 2017, Pyongyang bahkan melaksanakan uji rudal balistik -- yang meledak beberapa detik sesudah diluncurkan.
Rusia dan China juga dikabarkan ikut andil dalam ceruk carut-marut tersebut.
Seruan Presiden Jokowi soal Korea Utara
Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiba di Istana Malacanang di Manila, Filipina, Jumat (28/4). Kedatangan Jokowi disambut eksklusif oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte. [setkab]
Presiden Joko Widodo menaruh perhatian pada kondisi terkini di Semenanjung Korea. Saat ini, wilayah itu tengah memanas terkait agresi provokasi militer Korea Utara. Amerika Serikat kemudian merespons dengan menyiagakan sejumlah armada perangnya sebagai bentuk antisipasi.
"ASEAN harus mengirim pesan berpengaruh kepada Korea Utara supaya mentaati semua resolusi Dewan Keamanan PBB," ujar Jokowi sesi retreat di KTT ASEAN ke-30 di Formal Living Room, Coconut Palace, Manila Sabtu, (29/4/2017).
Jokowi berharap, semua negara ASEAN bisa menahan diri. Sehingga ketegangan yang dikala ini terasa bisa reda dan tidak semakin buruk.
"Stabilitas dan perdamaian di Semenanjung Korea harus segera dikembalikan," imbuh dia.
Presiden menambahkan, bila situasi di tempat Semenanjung Korea dibiarkan berlarut-larut maka tempat Laut China Selatan pasti akan terdampak.
Mantan Walikota Solo ini pun memastikan akan membahas hal itu dikala bertemu dengan Presiden China, Xi Jinping, dalam waktu dekat.
Para pemimpin ASEAN juga membahas isu internasional lain, menyerupai pemberantasan terorisme dan Laut China Selatan. Mereka mengharapkan kiranya Kerangka Code of Conduct (CoC) sanggup diselesaikan pertengahan tahun ini.
Kerangka CoC telah dibahas di Bali pada Desember 2016 antara ASEAN dan Tiongkok (Bali draft). Draf tersebut kemudian semakin disempurnakan dalam pertemuan di Siem Reap (Kamboja) pada simpulan Maret 2017.
Indonesia mengharapkan kiranya tempat Laut Tiongkok Selatan tidak dijadikan proyeksi bagi kekuatan negara-negara besar.
"Indonesia mengajak Republik Rakyat Tiongkok untuk terus memperlihatkan bantuan bagi stabilitas dan perdamaian di Laut Tiongkok Selatan," pungkas Jokowi.
US$ 3 Triliun Dipertaruhkan Jika Perang Pecah
Rudal kapal selam dipamerkan di parade kelahiran Kim Il-sung di Korut (AP Photo]
Ketegangan antara Korea Utara dengan Amerika Serikat yang akhir-akhir ini terjadi kian mengkhawatirkan sejumlah pihak. Terlebih, kedua negara sama-sama mempunyai kemampuan nuklir
Jika ketegangan kedua negara pecah, perang termonuklir akan menjadi peristiwa kemanusiaan dan ekologis bagi seluruh wilayah. Radiasi akhir perang tersebut juga sanggup mengakibatkan peristiwa nuklir hingga ke Korea Selatan, China, Rusia, dan Jepang.
Namun bila perang tersebut tak memakai senjata nuklir dan rezim Kim Jong-un jatuh, maka alternatif jelek lainnya tetap menghantui.
Konsekuensi pertama adalah, keluarga Kim dan semua pihak yang bekerjasama dengan Partai Buruh Korea yang berkuasa harus meninggalkan negaranya.
"Polisi belakang layar dan pejabat partai akan mencari dukungan di negara tetangga China atau Rusia," ujar peneliti dari National University, Leonid Petrov, menyerupai dikutip dari News.com.au, Minggu (30/4/2017).
"Tidak ada tempat bagi klan Kim bila Korut dan Korsel bergabung, saudara laki-lakinya, sepupu, bibi, dan pamannya, mereka tidak sanggup dipisahkan dari rezim dan akan diadili sebagai penjahat."
"Beberapa negara Amerika Selatan mungkin bersedia memperlihatkan dukungan kepada mereka -- Bolivia, Venezula, Guatemala...negara-negara yang anti-Amerika mungkin mendukung," terang Petrov.
Jadi, apa yang akan terjadi dengan rakyat Korea Utara tanpa Kim Jong-un sebagai pemimpin tertinggi mereka?
Menurut Petrov, alasannya kekurangan uang, makanan, dan tempat tinggal, mereka juga mungkin akan mencari dukungan di China, Rusia, dan Korea Selatan. Namun negara-negara itu tak akan selalu terbuka terhadap masuknya pengungsi Korea Utara.
Masalah bagi 30 Juta Orang
China merupakan rumah bagi sekitar 100.000 pembelot Korea Utara dan tampaknya tak menginginkan lebih banyak warga Korut untuk masuk ke negaranya.
Menurut ilmuwan Rand Corporation, Andrew Scobell, China telah memikirkan skenario semacam itu dalam kurun yang cukup usang dan mungkin akan memperkuat perbatasan dengan pengerahan pasukan.
Menurut Scobell, mungkin sebagian warga Korut akan mencoba berpindah dari satu kota ke kota lain untuk mencari perlindungan, sementara lainnya akan menyeberang ke Korea Selatan. Namun bila pertempuran berlangsung di DMZ -- perbatasan Korut-Korsel, perpindahan warga hampir tak sanggup terjadi.
Menurut Petrov, hal yang mungkin terjadi yaitu reunifikasi Korea Utara dan Selatan. Meski demikian itu akan berdampak pada problem ekonomi dan sosial yang mendalam.
Penjagaan ketat di tempat DMZ atau perbatasan Korea Selatan-Korea Utara. (istimewa)
"Ekonomi Korea Selatan mencapai puncaknya," ujar Petrov. "Mereka butuh mengakses sumber daya dan tenaga murah."
"Korea Selatan kemungkinan memakai kesempatan itu untuk mengeksploitasi Korea Utara yang berpendidikan lebih rendah dan kurangnya pengalaman dalam keahlian. Jutaan pekerja Korut akan menjadi warga kelas dua, akan ada diskriminasi besar-besaran, bahkan perbatasan kemungkinan akan dijaga selama bertahun-tahun untuk menghentikan migrasi massal."
"Akan diharapkan setidaknya 10 tahun sebelum angka kesejahteraan seimbang antara Utara dan Selatan. Selama 10 tahun itu, penyatuan kedua negara akan sangat mahal, US$ 3 triliun (sekitar Rp 40.029 triliun) atau lebih. Akan ada ketegangan sosial antara Korea Selatan dan Korea Utara."
"Kedua negara terisolasi satu sama lain, mereka berbicara dengan dialek berbeda, dan memahami dunia dengan berbeda," terang Petrov.
Reunifikasi Tak Berjalan Mulus
Reunifikasi Korea telah menjadi perdebatan selama bertahun-tahun. Mantan Presiden Korea Selatan, Kim Dae-jung memperoleh Penghargaan Nobel pada 2000 alasannya mengimplementasi kebijakan Sunshine Policy untuk meningkatkan relasi politik antara kedua negara.
Namun pada 2008, pemerintah konservatif mengakhiri proses tersebut dan para andal mengkhwatirkan adanya reunfikasi yang tak berjalan mulus.
"Unifikasi Jerman Timur dan Barat merupakan hal yang sangat gampang bila dibandingkan dengan apa yang akan terjadi di Korea Utara dan Selatan ketika reunifikasi terjadi secara tak terkontrol," ujar Petrov. "Ini akan menjadi problem sosiologi dan demografi yang besar," imbuh dia.
"Korea Selatan mungkin tidak akan mendukung Amerika dalam upaya keterbukaan militer melawan Korea Utara. Aliansi Amerika-Korea Selatan akan mencair."
"Pertumbuhan ekonomi di Korea Utara memberi Korea Selatan kanal sumber daya alam lebih banyak, tenaga kerja murah, dan transporasi, contohnya menghubungkan jalur kereta api Korea Selatan dengan China."
Perang AS-Korut Bisa Musnahkan Sebagian Besar Umat Manusia
Krisis yang terjadi di Semenanjung Korea turut menyita perhatian Paus Fransiskus. Pemimpin tertinggi umat Kristen tersebut mengungkapkan kekhawatiran, bahwa meningkatnya ketegangan Amerika Serikat dan Korea Utara sanggup memicu konflik militer yang bisa memusnahkan "sebagian besar umat manusia."
Paus Fransiskus pun menyerukan supaya diperbaruinya upaya diplomasi dengan memakai mediator pihak ketiga dan PBB untuk mengambil kiprah utama dalam ketegangan yang semakin meningkat.
Pernyataan tersebut disampaikan Paus sekembalinya ia dari lawatan ke Mesir. Pria yang fasih berbicara dalam Bahasa Spanyol, Italia, dan Jerman itu ditanya oleh wartawan seputar apa yang akan disampaikannya kepada para pemimpin dunia di tengah kondisi kritis dikala ini.
Ia mengatakan, "Situasinya sudah terlalu memanas. Saya selalu mengajukan sebuah solusi melalui jalur diplomatik."
Paus Fransiskus yang beberapa tahun terakhir kerap menyinggung bertahap wacana 'Perang Dunia III' mengatakan, konflik yang meningkat akan berdampak sangat menghancurkan.
"Sedikit demi sedikit tapi potongannya semakin besar dan terkonsentrasi di tempat yang sudah panas. Hari ini sebuah perang yang lebih luas akan menghancurkan, saya tidak ingin menyebut setengah dari manusia, namun sebagian besar insan dan budaya (akan musnah). Itu akan sangat dahsyat. Saya rasa umat insan dikala ini tidak sanggup menanggungnya," ujar Paus Fransiskus menyerupai dilansir CNN, Minggu, (30/4/2017).
Menurutnya, diplomasi merupakan respons terbaik yang harus dilakukan dikala ini.
"Saya rasa PBB mempunyai kiprah untuk melanjutkan kepemimpinannya...," imbuhnya.
Lebih lanjut, Paus Fransiskus menyarankan supaya pihak ketiga memfasilitasi pembicaraan antara Washington dengan Pyongyang. Ia mencontohkan Norwegia, sementara dikala ini AS menentukan Swedia untuk mewakili kepentingan diplomatiknya di Korut.
Perjalanan Paus Fransiskus ke Mesir sendiri bertujuan untuk menjalin persaudaraan antar umat Islam-Kristen, serta memperlihatkan solidaritas terhadap penganut Kristen Koptik yang merupakan minoritas di Negeri Piramida.
Teranyar, Korut dikabarkan kembali melaksanakan uji coba misil balistik pada Sabtu 29 April 2017 pagi. Misil diluncurkan dari bab utara Pyongyang, tepatnya di Pukchang.
Namun uji coba dilaporkan gagal. Dan itu tercatat sebagai kegagalan keempat semenjak Maret 2017.
"Kemungkinan daya jangkau misil tersebut medium atau biasa kami sebut KN-17 dan kami melihat tak usang sesudah diluncurkan misil tersebut kehilangan daya," sebut seorang pejabat militer AS menyerupai dikutip dari Asian Correspondent pada Sabtu 29 April 2017.
0 Response to "Info!! [Dunia] Sekilas Informasi Krisis Di Semenanjung Korea"
Post a Comment