Info!! ☆ Sentot Ali Basya
Panglima Perang Diponegoro yang Dijuluki Napoleon Jawa Lukisan Sentot Ali Basya. (minanglamo)
Di usianya yang masih belasan tahun, Sentot Ali Basya atau Sentot Ali Basya Abdullah Mustafa Prawirodirjo sudah ikut andil dalam jihad.
Ia merupakan salah satu buyut dari Sultan Hamengku Buwono I. Kakeknya ini, seorang Sultan di Kerajaan Mataram Islam kini dikenal dengan Yogyakarta.
Sementara itu gelar "Basya" atau "Pasha" ialah diilhami oleh gelar para panglima di Turki Utsmani. Dimana Turki di zaman itu menjadi pujian Umat Islam seluruh dunia.
Sentot Ali Basya diangkat menjadi panglima perang di barisan pasukan Pangeran Diponegoro saat berumur 17 tahun. Prestasi di umur muda ini pernah juga diperoleh seorang sobat berjulukan Usamah bin Zaid yang ditunjuk untuk memimpin perang melawan Romawi.
Namun, meski pun ia masih muda ternyata bisa pula mengukir dengan tinta emas keberhasilan dalam berjihad melawan Belanda. Sampai-sampai ia digelari "Napoleon Jawa". Padahal jikalau melihat zaman sekarang, anak yang berumur 17 tahu gres duduk di kursi SMA.
Sentot Ali Basya seorang panglima kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (De Java Oorlog). Pangeran Diponegoro memimpin perang berlangsung selama lima tahun.
Perang ini dimulai tanggal 20 Juli 1825 hingga 28 Maret 1830 M. Perang ini merupakan perang Sabilillah yang bertujuan mengusir penjajah untuk menegakkan kemerdekaan dan keadilan.
Dia merupakan salah satu komandan pertempuran dari pasukan-pasukan Diponegoro. Medan pertempuran di sekitar Yogyakarta, Kedu, Bagelen, dan Surakarta.
Akan tetapi, ada kawasan lain menyerupai Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bonjonegoro, Tuban, dan Surabaya. Tempat-tempat ini merupakan medan gerilya untuk melaksanakan sabotase-sabotase terhadap Belanda.
Dalam melancarkan serangan kepada penjajah Belanda Sentot Ali Basya bersama Pangeran Diponegoro menggunakan seni administrasi perang gerilya. Taktik perang ini senantiasa berpindah-pindah.
Demikian pula kedudukan markas besar pun tidak menetap di satu tempat. Pasukan Diponegoro ini telah memenangkan hati dan pikiran rakyat. Sehingga pasukan ini gampang bergerak serta gampang pula mendapatkan suplai logistik untuk kebutuhan pasukan.
Oleh alasannya ialah itu, di sepanjang garis Yogyakarta – Solo – Madiun – Surabaya (Jurusan Timur) dan Yogyakarta – Magelang – Wonosobo – Bagelen – Banyumas (Jurusan Utara dan Barat) terdapat markas-markas pertempuran yang sebagian besar dipimpin oleh para Ulama.
Di antaranya, Kiai Mojo dari Solo, Kiai Imam Rafi’I dari Bagelen, Kiai Imam Nawawi dari Ngluning Purwokerto, Kiai Hasan Basori dari Banyumas dan masih banyak kiai-kiai yang lain.
Dalam pasukan yang dipimpim Sentot Ali Basya ada sesuatu yang unik. Ia mempunyai pasukan sebanyak 1000 orang yang menyandang senjata dan senantiasa menggunakan jubah dan surban. Bahkan sistem struktur pasukannya menyerupai pasukan Turki Utsmani.
Gerakan pasukan Diponegoro sangat cepat dan lincah alasannya ialah mereka mempunyai kemahiran dan keberanian yang luar biasa yang disemangati perang Sabilillah. Hal ini menciptakan Belanda harus mengirim banyak Jenderal, Kolonel, dan Mayor yang dikirim ke jawa. Mereka ialah Jenderal De Kock. Jenderal Van Geen, Jenderal Holsman, Jenderal Bisschof. Karena pemerintahan Belanda menganggap lamban dalam menuntaskan perang Sabil di Jawa.
Dalam menumpas gerakan Jihad menumpas gerakan jihad di Jawa. Jenderal De Kock menggunakan aneka macam macam cara. Ada yang secara frontal perang secara fisik dan ada pula halus.
Jendral De Kock menghalalkan segala cara untuk bisa menangkap para pemimpin gerakan jihad di Jawa. Diharapkan dengan pimpinannya ditangkap maka bawahannya akan ikut hancur. Bahkan, Belanda sering melaksanakan penghianatan saat terjadi negosiasi tidak menguntungkan pihak pemerintah Belanda.
Belanda membujuk Prawirodiningrat, Bupati Madiun. Ia ialah abang dari Sentot Ali Basya. Agar ia mau mengajak adiknya berunding dengan Belanda. Bupati Madiun itu mendapatkan ajuan Belanda untuk membujuk Sentot Ali Basya.
Sentot Ali Basya terlalu percaya kepada sang abang dan lebih lagi terlalu percaya akan "Senyum" kolonialisme.
Panglima Sentot mendapatkan ajuan Belanda, ia memasuki kota Yogyakarta dengan mendapatkan upacara militer penuh sebagai seorang jenderal sempurna pada tanggal 24 oktober 1829. Sentot Ali Basya masuk perangkap Belanda, ia disergap kemudian dijadikan tawanan perang.
Kemudian Napoleon Jawa itu dipaksa Belanda untuk bertempur menghadapi Imam Bonjol. Belanda menjalankan siasat "divide et impera" politik berkelahi domba.
Di Sumatera Barat ia gunakan kesempatan itu untuk mengadakan kontak dengan anak buah Imam Bonjol.Ia menggabungkan diri ke dalam pasukan Paderi untuk melanjutkan perang Sabil.
Namun, pada kesannya Belanda mencium rencana itu, Sentot Ali Basya ditangkap dan dikirim ke Batavia. Di Batavia ini Gubernur Jenderal Belanda mengeluarkan beslit (surat keputusan) sebagai tawanan perang dan diasingkan ke Bengkulu.
Sumber:
★ wikipedia
★ an-najah
★ diolah dari aneka macam sumber (nag,nag)
Di usianya yang masih belasan tahun, Sentot Ali Basya atau Sentot Ali Basya Abdullah Mustafa Prawirodirjo sudah ikut andil dalam jihad.
Ia merupakan salah satu buyut dari Sultan Hamengku Buwono I. Kakeknya ini, seorang Sultan di Kerajaan Mataram Islam kini dikenal dengan Yogyakarta.
Sementara itu gelar "Basya" atau "Pasha" ialah diilhami oleh gelar para panglima di Turki Utsmani. Dimana Turki di zaman itu menjadi pujian Umat Islam seluruh dunia.
Sentot Ali Basya diangkat menjadi panglima perang di barisan pasukan Pangeran Diponegoro saat berumur 17 tahun. Prestasi di umur muda ini pernah juga diperoleh seorang sobat berjulukan Usamah bin Zaid yang ditunjuk untuk memimpin perang melawan Romawi.
Namun, meski pun ia masih muda ternyata bisa pula mengukir dengan tinta emas keberhasilan dalam berjihad melawan Belanda. Sampai-sampai ia digelari "Napoleon Jawa". Padahal jikalau melihat zaman sekarang, anak yang berumur 17 tahu gres duduk di kursi SMA.
Sentot Ali Basya seorang panglima kepercayaan Pangeran Diponegoro dalam Perang Jawa (De Java Oorlog). Pangeran Diponegoro memimpin perang berlangsung selama lima tahun.
Perang ini dimulai tanggal 20 Juli 1825 hingga 28 Maret 1830 M. Perang ini merupakan perang Sabilillah yang bertujuan mengusir penjajah untuk menegakkan kemerdekaan dan keadilan.
Dia merupakan salah satu komandan pertempuran dari pasukan-pasukan Diponegoro. Medan pertempuran di sekitar Yogyakarta, Kedu, Bagelen, dan Surakarta.
Akan tetapi, ada kawasan lain menyerupai Banyumas, Wonosobo, Banjarnegara, Weleri, Pekalongan, Tegal, Semarang, Demak, Kudus, Purwodadi, Parakan, Magelang, Madiun, Pacitan, Kediri, Bonjonegoro, Tuban, dan Surabaya. Tempat-tempat ini merupakan medan gerilya untuk melaksanakan sabotase-sabotase terhadap Belanda.
Dalam melancarkan serangan kepada penjajah Belanda Sentot Ali Basya bersama Pangeran Diponegoro menggunakan seni administrasi perang gerilya. Taktik perang ini senantiasa berpindah-pindah.
Demikian pula kedudukan markas besar pun tidak menetap di satu tempat. Pasukan Diponegoro ini telah memenangkan hati dan pikiran rakyat. Sehingga pasukan ini gampang bergerak serta gampang pula mendapatkan suplai logistik untuk kebutuhan pasukan.
Oleh alasannya ialah itu, di sepanjang garis Yogyakarta – Solo – Madiun – Surabaya (Jurusan Timur) dan Yogyakarta – Magelang – Wonosobo – Bagelen – Banyumas (Jurusan Utara dan Barat) terdapat markas-markas pertempuran yang sebagian besar dipimpin oleh para Ulama.
Di antaranya, Kiai Mojo dari Solo, Kiai Imam Rafi’I dari Bagelen, Kiai Imam Nawawi dari Ngluning Purwokerto, Kiai Hasan Basori dari Banyumas dan masih banyak kiai-kiai yang lain.
Dalam pasukan yang dipimpim Sentot Ali Basya ada sesuatu yang unik. Ia mempunyai pasukan sebanyak 1000 orang yang menyandang senjata dan senantiasa menggunakan jubah dan surban. Bahkan sistem struktur pasukannya menyerupai pasukan Turki Utsmani.
Gerakan pasukan Diponegoro sangat cepat dan lincah alasannya ialah mereka mempunyai kemahiran dan keberanian yang luar biasa yang disemangati perang Sabilillah. Hal ini menciptakan Belanda harus mengirim banyak Jenderal, Kolonel, dan Mayor yang dikirim ke jawa. Mereka ialah Jenderal De Kock. Jenderal Van Geen, Jenderal Holsman, Jenderal Bisschof. Karena pemerintahan Belanda menganggap lamban dalam menuntaskan perang Sabil di Jawa.
Dalam menumpas gerakan Jihad menumpas gerakan jihad di Jawa. Jenderal De Kock menggunakan aneka macam macam cara. Ada yang secara frontal perang secara fisik dan ada pula halus.
Jendral De Kock menghalalkan segala cara untuk bisa menangkap para pemimpin gerakan jihad di Jawa. Diharapkan dengan pimpinannya ditangkap maka bawahannya akan ikut hancur. Bahkan, Belanda sering melaksanakan penghianatan saat terjadi negosiasi tidak menguntungkan pihak pemerintah Belanda.
Belanda membujuk Prawirodiningrat, Bupati Madiun. Ia ialah abang dari Sentot Ali Basya. Agar ia mau mengajak adiknya berunding dengan Belanda. Bupati Madiun itu mendapatkan ajuan Belanda untuk membujuk Sentot Ali Basya.
Sentot Ali Basya terlalu percaya kepada sang abang dan lebih lagi terlalu percaya akan "Senyum" kolonialisme.
Panglima Sentot mendapatkan ajuan Belanda, ia memasuki kota Yogyakarta dengan mendapatkan upacara militer penuh sebagai seorang jenderal sempurna pada tanggal 24 oktober 1829. Sentot Ali Basya masuk perangkap Belanda, ia disergap kemudian dijadikan tawanan perang.
Kemudian Napoleon Jawa itu dipaksa Belanda untuk bertempur menghadapi Imam Bonjol. Belanda menjalankan siasat "divide et impera" politik berkelahi domba.
Di Sumatera Barat ia gunakan kesempatan itu untuk mengadakan kontak dengan anak buah Imam Bonjol.Ia menggabungkan diri ke dalam pasukan Paderi untuk melanjutkan perang Sabil.
Namun, pada kesannya Belanda mencium rencana itu, Sentot Ali Basya ditangkap dan dikirim ke Batavia. Di Batavia ini Gubernur Jenderal Belanda mengeluarkan beslit (surat keputusan) sebagai tawanan perang dan diasingkan ke Bengkulu.
Sumber:
★ wikipedia
★ an-najah
★ diolah dari aneka macam sumber (nag,nag)
0 Response to "Info!! ☆ Sentot Ali Basya"
Post a Comment